1. Pendahuluan
Pertanian upland (dataran tinggi/lahan kering) di Indonesia merepresentasikan ekosistem produksi yang sangat beragam secara agroekologi—mulai dari perbedaan elevasi, curah hujan musiman, kemiringan lahan, hingga variasi kesuburan tanah. Literatur terbaru menekankan bahwa kombinasi kendala biofisik (ketersediaan air, erosi/longsor, degradasi tanah) dan kendala sosial-ekonomi (keterbatasan akses input, layanan penyuluhan, pembiayaan, serta konektivitas pasar) menjadikan kinerja produktivitas dan pendapatan rumah tangga tani upland sangat heterogen lintas wilayah (Perdani, 2025; Suyana, 2025; Krone, 2025).
Intervensi pengelolaan tanah dan air skala kecil—mulai dari konservasi tanah-air, pemupukan organik/berimbang, hingga irigasi hemat air dan perbaikan jaringan kecil—secara umum dikaitkan dengan stabilisasi hasil, peningkatan indeks tanam, dan reduksi kerentanan terhadap variabilitas iklim; namun keberhasilan sangat dipengaruhi oleh kesesuaian praktik dengan kondisi lokal dan kapasitas kelembagaan petani (Supriyono, 2025; Hanudin, 2025; Saifuddin, 2025).
Pada komoditas upland yang bernilai tinggi seperti hortikultura dan kopi/kakao, penguatan rantai nilai—termasuk perbaikan pascapanen (grading, pengolahan sederhana), standardisasi mutu, dan hubungan kemitraan—sering dikaitkan dengan perbaikan harga di tingkat petani. Hambatan yang berulang adalah ketimpangan informasi pasar, biaya logistik di wilayah perbukitan, dan kelemahan kelembagaan kolektif (Hastuti, 2025; Sari, 2025; Mulyadi, 2025). Dalam dimensi lingkungan, tekanan perubahan tutupan lahan dan deforestasi di lanskap upland membawa konsekuensi terhadap ketersediaan air, erosi, dan jasa ekosistem pendukung produksi, sehingga strategi produksi perlu mempertimbangkan trade-off ekologi-ekonomi (Pakaya, 2025; Ridara, 2025).
Kerangka konseptual yang digunakan pada kajian ini mengintegrasikan dua sumbu utama: (A) teknis-ekologis (pengelolaan tanah-air, input, irigasi kecil, praktik budidaya adaptif, konservasi) dan (B) sosial-ekonomi & kelembagaan (kelompok tani/koperasi, layanan penyuluhan, akses pembiayaan dan informasi, konektivitas pasar, serta tata kelola lokal). Kedua sumbu diharapkan memadai untuk menjelaskan variasi kinerja upland Indonesia dan menjadi pijakan untuk menyusun indikator evaluasi yang konsisten dengan praktik terbaik internasional namun berakar pada konteks lokal (Krone, 2025; Hanudin, 2025; Sari, 2025; Ridara, 2025).
....
5.1 Simpulan
Keberhasilan pertanian upland di Indonesia sangat bergantung pada integrasi intervensi teknis dan kelembagaan lokal. Studi konservasi tanah–air, irigasi mikro, dan inovasi input adaptif (Suyana, 2025; Sule, 2025; Supriyono, 2025) menunjukkan peningkatan produktivitas dan stabilitas agroekosistem, tetapi keberlanjutan hasil sangat ditentukan oleh keberadaan kelompok tani, koperasi, serta mekanisme operasi & pemeliharaan yang dikelola petani sendiri (Hastuti, 2025; Perdani, 2025).
Produktivitas dan konservasi dapat tercapai, namun tanpa akses pasar dan kelembagaan kuat manfaatnya terbatas. Penguatan pascapanen, standardisasi mutu, dan kemitraan dagang terbukti menaikkan nilai tambah (Sari, 2025; Hastuti, 2025), tetapi logistik yang mahal dan jaringan pasar yang lemah sering menahan petani di rantai nilai rendah. Tanpa dukungan sosial–ekonomi yang memadai, inovasi teknis sering berhenti pada tahap uji coba.
Hibah dan dukungan publik efektif tetapi perlu kapasitas daerah yang baik. Program hibah pertanian, infrastruktur air, dan dukungan pemerintah daerah efektif mendorong adopsi inovasi dan pembangunan kelembagaan awal, namun keberhasilan sangat dipengaruhi kapasitas perencanaan, pengawasan, dan tata kelola daerah (Ridara, 2025). Tanpa perbaikan kelembagaan daerah, manfaat dana publik cenderung temporer.
Celah riset: evaluasi jangka panjang dampak sosial-ekonomi dan metodologi indikator multi-dimensi. Kajian yang tersedia masih dominan mengukur aspek fisik dan produktivitas jangka pendek. Evaluasi keberlanjutan yang mengintegrasikan dampak sosial-ekonomi rumah tangga, ketahanan pangan, serta keberlanjutan ekosistem masih minim. Pengembangan kerangka evaluasi logic model yang menyatukan Input → Kegiatan → Output → Outcome → Dampak menjadi kebutuhan mendesak (Krone, 2025; Ridara, 2025).
5.1.1 Research Gap
Kajian literatur ini mengidentifikasi sejumlah celah penelitian (research gap) yang belum banyak dijawab oleh riset-riset sebelumnya dan relevan untuk pengembangan agenda ilmiah maupun kebijakan:
Kurangnya studi longitudinal jangka panjang.
Mayoritas studi berfokus pada dampak jangka pendek terhadap produktivitas atau keberlanjutan agroekosistem. Penelitian yang melacak keberlanjutan kesejahteraan petani serta kekuatan kelembagaan 5–10 tahun pasca intervensi masih minim.
Indikator keberhasilan yang terbatas.
Penilaian keberhasilan program upland umumnya berhenti pada output fisik (luas konservasi, hasil panen) tanpa memasukkan metrik sosial-ekonomi rumah tangga, kekuatan kelembagaan, serta keberlanjutan ekologi.
Kelemahan analisis rantai nilai dan pasar.
Banyak literatur mengidentifikasi kendala pascapanen dan biaya logistik yang tinggi, namun belum ada model integratif yang memetakan hubungan produksi, akses pasar digital, dan kemitraan industri secara menyeluruh.
Keterbatasan pemanfaatan big data dan data spasial.
Pendekatan analitik modern seperti citra satelit, data agroklimat, serta pemantauan harga daring jarang digunakan padahal berpotensi meningkatkan presisi pemetaan risiko dan peluang pengembangan lahan kering.
Minimnya kajian kelembagaan multi-level.
Hubungan koordinasi pemerintah pusat–daerah dengan kelembagaan petani belum banyak dieksplorasi untuk menghasilkan desain pendanaan dan kebijakan yang sesuai kapasitas lokal.
5.2 Rekomendasi
A. Kebijakan & Program
Desain intervensi terpadu antara teknologi dan kelembagaan. Setiap program pertanian upland sebaiknya tidak hanya menyediakan teknologi konservasi tanah–air, input adaptif, dan infrastruktur irigasi kecil, tetapi juga menguatkan kelembagaan lokal agar petani mampu mengelola operasi dan pemeliharaan secara berkelanjutan (Suyana, 2025; Hastuti, 2025; Sule, 2025).
Penguatan kapasitas penyuluh dan transformasi digital layanan pertanian. Pemerintah daerah dan pusat perlu memperluas regenerasi penyuluh lokal, memperkuat pelatihan teknis, dan memanfaatkan platform digital untuk penyebaran informasi serta pasar daring, sekaligus memperbaiki infrastruktur jaringan di daerah upland (Suyana, 2025; Ridara, 2025).
Perbaikan rantai nilai dan logistik. Investasi pada fasilitas pascapanen, standardisasi mutu, dan jalan produksi perlu diprioritaskan untuk menekan biaya logistik yang tinggi dan meningkatkan daya tawar petani. Pemerintah juga dapat memfasilitasi kemitraan strategis antara kelompok tani/koperasi dengan industri pengolah atau eksportir (Sari, 2025; Hastuti, 2025).
Skema pembiayaan adaptif dan keberlanjutan pasca proyek. Hibah pemerintah yang terbukti efektif perlu dilanjutkan dengan akses ke kredit mikro, tabungan kelompok, atau model pembiayaan campuran (blended finance) agar petani dapat merawat infrastruktur dan mengembangkan usaha pasca intervensi awal (Ridara, 2025).
Monitoring & evaluasi berbasis indikator multi-dimensi. Sistem evaluasi program upland sebaiknya tidak hanya menilai output fisik (produktivitas, infrastruktur), tetapi juga outcome dan dampak sosial-ekonomi serta keberlanjutan ekologi. Pendekatan logic model (Input → Kegiatan → Output → Outcome → Dampak) dapat menjadi standar baru bagi evaluasi pembangunan pertanian upland (Krone, 2025; Ridara, 2025).
B. Agenda Penelitian
Studi longitudinal jangka panjang. Penelitian yang memantau keberlanjutan kesejahteraan petani dan kualitas ekosistem setelah program berakhir masih terbatas. Perlu riset yang menelusuri dampak hingga 5–10 tahun pasca intervensi.
Pemanfaatan big data & analisis spasial. Integrasi citra satelit, data agroklimat, dan pemantauan pasar daring akan membantu memetakan risiko degradasi, peluang komoditas, dan dinamika perubahan lahan upland secara lebih presisi.
Analisis kelembagaan multi-level. Studi tentang sinergi pemerintah pusat, daerah, dan kelembagaan petani dibutuhkan untuk merumuskan skema pendanaan dan kebijakan yang kontekstual sesuai kapasitas lokal (Ridara, 2025).
Inovasi model bisnis petani upland. Pengembangan koperasi modern, pemasaran digital, dan kemitraan berbasis rantai nilai global perlu menjadi fokus penelitian untuk meningkatkan daya saing komoditas upland.
Dengan rekomendasi ini, kebijakan dan penelitian ke depan dapat bergerak dari pendekatan sektoral menuju ekosistem pembangunan upland yang terintegrasi, mendukung keberlanjutan produksi, penghidupan petani, dan perlindungan ekologi.