Trending

Reformasi Kebijakan dan Tata Kelola Pengelolaan Sampah di Indonesia: Menuju Sistem yang Terintegrasi dan Berkelanjutan

Waste Management Policy and Governance Reform in Indonesia: Towards an Integrated and Sustainable System in Indonesia
oleh: Bambang Imam Pramuji

PENDAHULUAN

Pengelolaan sampah merupakan isu krusial yang terus mengemuka dalam diskursus pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan perubahan pola konsumsi, volume timbulan sampah terus meningkat dari tahun ke tahun. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa pada tahun 2022, timbulan sampah nasional mencapai lebih dari 18 juta ton, di mana sekitar 40,3 persen berasal dari sampah makanan (Report on Food Loss and Waste in Indonesia, 2021).

Tingginya timbulan sampah ini tidak hanya menimbulkan masalah lingkungan, seperti pencemaran tanah, air, dan udara, tetapi juga berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca, kerusakan ekosistem pesisir, serta memperbesar risiko bencana akibat buruknya sanitasi dan drainase. Dalam konteks ini, pengelolaan sampah tidak dapat lagi dipandang semata sebagai isu teknis sektor lingkungan, melainkan sebagai persoalan multidimensi yang terkait erat dengan tata kelola, kesehatan masyarakat, perencanaan wilayah, hingga perubahan iklim.

Kesadaran akan pentingnya reformasi pengelolaan sampah tercermin kuat dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Kerja Pemerintah, yang menempatkan pengelolaan lingkungan hidup – termasuk pengelolaan sampah – sebagai salah satu kegiatan prioritas nasional . Dokumen tersebut menegaskan bahwa: "Reformasi pengelolaan sampah harus dilakukan secara terintegrasi dari hulu ke hilir, mencakup seluruh rantai layanan—mulai dari pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, hingga pemrosesan akhir." (Perpres 12/2025, Bab 1.2.6).

Arah kebijakan ini juga menuntut pergeseran paradigma dari pendekatan berbasis pembuangan (end-of-pipe) menjadi pendekatan pengurangan sejak sumber (source reduction) dan ekonomi sirkular. Dalam kerangka itu, perubahan perilaku masyarakat , peningkatan literasi sampah , serta penguatan kapasitas pemerintah daerah menjadi komponen utama reformasi. Bahkan, Perpres ini mendorong penetapan pengelolaan sampah sebagai bagian dari standar pelayanan minimal (SPM) , sehingga kinerja kepala daerah dalam isu ini dapat dievaluasi secara objektif dan sistematis.

Secara khusus, Perpres 12/2025 juga menekankan pentingnya penyusunan Rencana Induk Pengelolaan Sampah (RIPS) yang layak secara teknis dan finansial, serta mendorong penggunaan teknologi tepat guna dan pelibatan swasta dalam berbagai bentuk kemitraan. Dukungan kebijakan ini juga mencakup skema insentif-disinsentif berbasis prinsip polluter pays , pembiayaan inovatif, serta penguatan kelembagaan regulator dan operator secara terpisah—yang kesemuanya merepresentasikan pendekatan sistemik terhadap masalah persampahan.

Dengan demikian, urgensi penguatan regulasi dan kebijakan persampahan bukan hanya menjawab tantangan masa kini, tetapi juga merupakan bagian integral dari agenda transformasi pembangunan Indonesia menuju lingkungan hidup yang sehat, tangguh, dan berkelanjutan sebagaimana diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Kajian ini akan mengulas secara kritis berbagai regulasi pengelolaan sampah, serta bagaimana arah kebijakan nasional – khususnya melalui Perpres 12 Tahun 2025 – berupaya menyelaraskan kerangka hukum dan kelembagaan menuju sistem pengelolaan sampah yang efektif dan inklusif.

KERANGKA HUKUM DAN ARAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SAMPAH

Pengelolaan sampah di Indonesia memiliki fondasi hukum yang relatif kuat, meskipun implementasinya masih menghadapi tantangan struktural dan operasional di berbagai daerah. Regulasi yang ada mencerminkan pendekatan progresif, dengan fokus pada prinsip pengurangan sampah di sumber, daur ulang, dan pemrosesan akhir yang ramah lingkungan. Secara umum, kerangka hukum ini dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar: (1) regulasi sektoral yang bersifat teknis dan operasional; dan (2) kebijakan makro nasional yang memberikan arah strategis lintas sektor.

1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah


UU No. 18/2008 merupakan landasan utama dalam pengelolaan sampah di Indonesia. Undang-undang ini menekankan pentingnya pengurangan sampah sejak dari sumber, serta pengelolaan yang sistematis, menyeluruh, dan berwawasan lingkungan. Pasal 21 mengatur insentif bagi pelaku pengurangan sampah dan disinsentif bagi yang tidak mematuhinya, sebuah pendekatan yang sejalan dengan prinsip “polluter pays” yang dianut dalam teori ekonomi lingkungan.

Pemerintah pusat memiliki peran menetapkan arah kebijakan nasional, provinsi bertindak sebagai koordinator, sedangkan kabupaten/kota sebagai pelaksana utama. Skema pembagian kewenangan ini menuntut adanya koordinasi lintas level pemerintahan yang kuat, serta pendanaan yang memadai.

“Pengelolaan sampah harus menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha” (UU No. 18 Tahun 2008, Pasal 3).

2. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012

Sebagai turunan dari UU 18/2008, PP No. 81/2012 mengatur secara rinci pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga. PP ini memperjelas siklus pengelolaan sampah mulai dari pemilahan, pengumpulan, hingga pemrosesan akhir. Salah satu elemen penting adalah dorongan terhadap peran aktif masyarakat dan swasta , termasuk melalui skema retribusi sampah dan kemitraan pengelolaan berbasis komunitas.

PP ini juga mendorong Pemerintah Daerah untuk menyusun Rencana Induk Pengelolaan Sampah (RIPS) serta menerapkan standar pelayanan minimal (SPM) dalam urusan persampahan. Hal ini sejalan dengan dorongan dalam Perpres 12 Tahun 2025 yang menyebut bahwa penyusunan RIPS yang layak secara teknis dan finansial adalah langkah awal yang krusial menuju reformasi sistemik.

3. Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Jakstranas Persampahan

Perpres ini menjadi tonggak penting dalam mengintegrasikan target nasional. Ditetapkan target pengurangan 30% dan penanganan 70% sampah pada tahun 2025. Arah kebijakan ini dikuatkan dalam Perpres 12/2025 yang menyebut perlunya "indikator kunci kinerja" kepala daerah dalam reformasi tata kelola persampahan, termasuk capaian terhadap target Jakstranas.

“Sinergi antar-lembaga dan optimalisasi anggaran daerah menjadi kunci pencapaian target nasional pengelolaan sampah” (Perpres 97/2017, Pasal 3).

Pendanaan diarahkan melalui kombinasi APBN, APBD, dan sumber lain, yang menggarisbawahi pentingnya inovasi pembiayaan.

4. Perpres No. 35 Tahun 2018 tentang Percepatan PLTSa

Perpres ini mengatur percepatan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di kota-kota besar. Daerah diberi tanggung jawab utama dalam pendanaan melalui APBD, sementara APBN berperan sebagai katalisator. Namun, realisasi PLTSa masih menghadapi hambatan teknis dan sosial, seperti resistensi masyarakat terhadap insinerator dan belum optimalnya kerangka tarif listrik dari sampah.

Kebijakan ini direvitalisasi dalam Perpres 12/2025 , yang mendorong penerapan teknologi tepat guna yang disesuaikan dengan kondisi daerah—termasuk pirolisis, maggot, kompos, dan RDF (Refused Derived Fuel).

5. Perpres No. 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut

Perpres ini memperluas cakupan isu persampahan ke dimensi laut, dengan target ambisius pengurangan 70% sampah laut pada 2025. Pendekatan yang diambil bersifat lintas sektor dan multi-aktor, melibatkan kementerian, pemerintah daerah, lembaga riset, dan masyarakat. Perpres 12/2025 menggarisbawahi integrasi sistem daratan dan perairan , dengan pembangunan sarana pengelolaan sampah laut yang terhubung dengan sistem berbasis darat (land-based system).

ALUR PIKIR PENANGANAN PERSAMPAHAN DI INDONESIA


1. Paradigma Dasar dan Tujuan Kebijakan

Paradigma baru: dari kumpul–angkut–buang menjadi reduce–reuse–recycle (3R) dan pengelolaan berkelanjutan

Tujuan utama:Melindungi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup (UU 18/2008, Pasal 3)
Mengurangi timbulan sampah dan meningkatkan nilai tambah limbah
Mendorong peran aktif masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah daerah

2. Landasan Hukum dan Strategi Nasional

Kerangka regulasi utama:UU 18 Tahun 2008 → pengelolaan sistematis, insentif/disinsentif, peran berjenjang
  • PP 81 Tahun 2012 → teknis pengelolaan sampah rumah tangga, peran Pemda dan masyarakat
  • Perpres 97/2017 → target nasional 30% pengurangan & 70% penanganan sampah pada 2025
  • Perpres 35/2018 → dorongan pembangunan PLTSa & skema pembiayaan alternatif
  • Perpres 83/2018 → fokus pengurangan sampah laut 70%
  • Perpres 12/2025 → integrasi pengelolaan sampah dalam prioritas pembangunan nasional

3. Alur Penanganan Teknis: Hulu ke Hilir

Tahapan pengelolaan sampah:
TahapUraian
1. SumberPerubahan perilaku, literasi sampah, pemilahan di rumah tangga, sekolah, pasar, dll.
2. PewadahanPenyediaan wadah terpilah organik/anorganik/B3.
3. PengumpulanDilakukan oleh petugas, swakelola, atau swasta berbasis jadwal dan zonasi.
4. PengangkutanSistem tertutup, terpilah, dan terjadwal.
5. Pengolahan AwalTPS3R, bank sampah, kompos, maggot, rumah daur ulang.
6. Pemrosesan AkhirResidual waste → TPA sanitary landfill, landfill mining, WTE.

4. Peran Kelembagaan

Pemerintah Pusat
  • Menyusun kebijakan nasional & NSPK
  • Menyediakan insentif, pendampingan, dan pembiayaan tambahan
Pemerintah Provinsi
  • Koordinasi antar-kabupaten
  • Pembinaan teknis dan evaluasi kinerja kabupaten/kota
Pemerintah Kabupaten/Kota
  • Pelaksana utama pengelolaan sampah
  • Menyusun RIPS, menyediakan sarana-prasarana, menetapkan retribusi
Masyarakat & Swasta
  • Melakukan pemilahan, pengurangan, dan pengolahan
  • Mitra dalam operasional dan investasi pengolahan

5. Skema Pembiayaan

Sumber dana:
  • APBD kabupaten/kota (utama)
  • APBN dan APBD provinsi (pendukung)
  • Dana Desa
  • Retribusi dan PBB-P2
  • KPBU dan swasta
Pendekatan baru: blended finance, output-based financing, kontribusi berbasis kinerja

6. Pengukuran dan Evaluasi Kinerja

Indeks Kinerja Pengelolaan Sampah (IKPS) digunakan untuk:
  • Mengevaluasi efektivitas pengelolaan
  • Menentukan insentif daerah
  • Memantau capaian target Jakstranas dan RPJMN
  • Mendorong kompetisi sehat antar-daerah

7. Arah Reformasi dan Isu Kunci (Perpres 12/2025)

  • Fokus kebijakan:Penguatan kelembagaan: pemisahan regulator & operator
  • Pemanfaatan teknologi tepat guna
  • Integrasi sistem darat-laut
  • Penataan aset persampahan dan legalisasi SKKNI sektor persampahan
  • Standarisasi layanan sebagai bagian dari Standar Pelayanan Minimal (SPM)
  • Integrasi pengelolaan sampah dalam pembangunan desa, kota, dan kawasan prioritas

REFORMASI SISTEMIK PENGELOLAAN SAMPAH DARI HULU KE HILIR

Isu pengelolaan sampah tidak lagi dapat ditangani secara parsial dan bersifat reaktif. Pendekatan reformasi yang diadopsi oleh pemerintah Indonesia dewasa ini menekankan pentingnya sistem pengelolaan sampah yang menyeluruh dari hulu ke hilir, sebagaimana ditegaskan dalam Perpres Nomor 12 Tahun 2025. Reformasi ini mencakup seluruh rantai proses pengelolaan - dimulai dari sumber timbulan sampah hingga ke tahap akhir pemrosesan residu - serta didukung oleh kerangka tata kelola yang kuat, pembiayaan berkelanjutan, dan peran aktif semua aktor pembangunan.

1. Perubahan Perilaku dan Budaya Literasi Sampah

Perubahan fundamental dalam sistem pengelolaan sampah dimulai dari perubahan perilaku masyarakat. Dalam Perpres 12/2025 dinyatakan bahwa reformasi harus dimulai “dari hulu melalui perubahan perilaku semua penghasil sampah menuju budaya literasi sampah”. Ini berarti bahwa pemilahan dan pengurangan sampah harus dimulai dari rumah tangga, sekolah, tempat kerja, hingga institusi publik.

Studi menunjukkan bahwa keberhasilan sistem 3R (reduce, reuse, recycle) sangat tergantung pada kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam proses awal pengelolaan sampah (Fitriani et al., 2021). Oleh karena itu, strategi reformasi harus mencakup edukasi, kampanye sosial, dan insentif perilaku—baik secara sosial maupun fiskal.

2. Integrasi Sistem Pelayanan: Pemilahan hingga Pemrosesan Akhir

Reformasi dari hulu ke hilir tidak hanya berbicara tentang perubahan perilaku, tetapi juga menyangkut integrasi sistem layanan teknis. Ini termasuk:Pemilahan dan pewadahan sampah sejak dari sumber.
  • Pengumpulan dan pengangkutan yang terpilah dan terjadwal.
  • Pengolahan awal di tingkat komunitas, seperti TPS3R, rumah kompos, dan pusat daur ulang.
  • Pemrosesan akhir hanya untuk residu, dengan penerapan sanitary landfill dan konservasi TPA melalui pendekatan landfill mining.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan bahwa pada tahun 2022, hanya 24% dari sampah yang masuk ke sistem terkelola secara optimal, dan dari itu, sekitar 16% didaur ulang. Artinya, reformasi masih sangat diperlukan untuk mendorong efisiensi dan peningkatan kinerja pada setiap tahap layanan.

3. Standar Layanan dan RIPS yang Layak

Langkah awal dari reformasi sistemik ini adalah penyusunan Rencana Induk Pengelolaan Sampah (RIPS) yang “komprehensif dan layak secara finansial (financially viable)” (Perpres 12/2025) RIPS berfungsi sebagai dokumen perencanaan teknis dan fiskal yang akan menjadi acuan dalam penetapan:
  • Target pengurangan sampah.
  • Standar pelayanan minimal (SPM).
  • Tarif retribusi dan tipping fee yang wajar dan terukur.
  • Kebutuhan investasi infrastruktur dan SDM.
Dengan menjadikan pengelolaan sampah sebagai bagian dari SPM, kepala daerah tidak lagi dapat mengabaikan kinerja persampahan. Sebaliknya, mereka dituntut untuk berinovasi dan membangun sistem yang berkelanjutan, baik secara lingkungan maupun ekonomi.

4. Pemanfaatan Teknologi Tepat Guna dan Inovasi

Reformasi ini juga mendorong penggunaan teknologi tepat guna yang disesuaikan dengan karakteristik lokal. Teknologi yang direkomendasikan meliputi:
  • Komposting dan budidaya maggot (BSF) untuk sampah organik.
  • Refused-Derived Fuel (RDF) dan pirolisis untuk sampah anorganik bernilai kalor tinggi.
  • Waste-to-energy (WTE) untuk kawasan perkotaan padat dengan volume timbulan besar.
Pemilihan teknologi ini harus mempertimbangkan aspek efisiensi, dampak lingkungan, biaya operasional, dan kapasitas SDM pengelola.

5. Penguatan Insentif dan Disinsentif

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 UU No. 18 Tahun 2008, pemberian insentif kepada pelaku pengurangan sampah dan disinsentif bagi pelanggar menjadi bagian penting dari strategi keberlanjutan. Perpres 12/2025 memperluas prinsip ini dengan menyarankan:Penyesuaian retribusi persampahan yang adil dan berbasis volume.

Integrasi biaya pengelolaan sampah dalam PBB-P2 sebagai skema insentif fiskal daerah.
Dukungan pembiayaan inovatif, termasuk melalui kerja sama daerah-swasta (KPBU), Dana Desa, dan pembiayaan berbasis hasil (output-based financing).

PENATAAN KELEMBAGAAN DAN PERAN DAERAH DALAM PENGELOLAAN SAMPAH

Reformasi pengelolaan sampah yang terstruktur dari hulu ke hilir membutuhkan pondasi kelembagaan yang kuat , baik di tingkat pusat maupun daerah. Tanpa desain kelembagaan yang tepat dan operasional yang efisien, berbagai strategi teknis dan pembiayaan akan sulit diimplementasikan secara optimal. Dalam hal ini, kebijakan nasional melalui Perpres Nomor 12 Tahun 2025 menegaskan perlunya penataan fungsi , pemisahan peran , serta peningkatan kapasitas kelembagaan sebagai bagian dari transformasi sistem persampahan nasional.

1. Pemisahan Regulator dan Operator Layanan Persampahan

Salah satu pilar penting dalam reformasi kelembagaan adalah pemisahan fungsi regulator dan operator . Model ini bertujuan untuk mencegah konflik kepentingan, meningkatkan akuntabilitas, dan memungkinkan profesionalisasi layanan.

Namun, hingga saat ini, baru 3 dari 38 provinsi dan 3 dari 514 kabupaten/kota yang memiliki Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Persampahan (Perpres 12/2025). Padahal, keberadaan BLUD memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan dan SDM, serta memungkinkan pembentukan unit usaha yang berorientasi layanan publik tanpa harus bergantung sepenuhnya pada APBD.

Pemerintah pusat, melalui peraturan pelaksana UU No. 18 Tahun 2008, telah mendorong pembentukan unit operator yang terpisah dari dinas teknis. Perpres 12/2025 memperkuat arahan ini dengan menyebut: “Penataan fungsi dan peningkatan kapasitas dalam penyusunan kebijakan, pelaksanaan, pengawasan, hingga penegakan hukum perlu dilakukan secara seimbang dan optimal.”

2. Pembinaan terhadap Operator Berbasis Masyarakat dan Swasta

Selain BLUD, pengelolaan sampah di banyak wilayah juga ditopang oleh operator berbasis masyarakat seperti Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan BUMDes , serta pihak swasta lokal. Namun, keberadaan mereka masih terbatas secara kuantitas dan kualitas , serta belum terintegrasi dalam sistem perizinan dan pengawasan formal.

Tantangan lain adalah belum optimalnya sistem pendataan dan registrasi operator , yang menyebabkan sulitnya penyaluran bantuan, pelatihan, dan kemitraan. Untuk itu, perlu penguatan ekosistem kemitraan yang mencakup:
  • Pembinaan teknis dan manajerial.
  • Skema perizinan ringan (light licensing).
  • Akses pembiayaan mikro dan dana insentif daerah.

3. Penataan Aset dan Infrastruktur Persampahan

Aset persampahan seperti TPS3R, TPST, armada pengangkut, dan TPA merupakan komponen vital dalam sistem layanan. Sayangnya, banyak daerah belum memiliki sistem yang memadai untuk mengelola aset secara sah dan sesuai peraturan . Pengelolaan aset yang tidak tertata dapat menyebabkan duplikasi investasi, idle assets, hingga konflik hukum.

Perpres 12/2025 menyatakan bahwa: “Penataan dan pengelolaan aset persampahan sangat penting untuk menjamin kepemilikan yang sah dan pengelolaan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.” Dengan demikian, diperlukan legal audit, pemutakhiran data aset, dan penataan tata kelola aset berbasis digital.

4. Penguatan SDM: Legalitas Kompetensi dan Peta Okupasi

Transformasi kelembagaan harus diiringi dengan penguatan sumber daya manusia (SDM) melalui pembinaan dan sertifikasi. Untuk itu, pemerintah mendorong legalisasi:
  • Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) ,
  • Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) , dan
  • Peta Okupasi Sektor Persampahan .
Dengan kerangka ini, pengembangan SDM dapat dilakukan secara sistematis, mulai dari pelatihan teknis dasar, sertifikasi profesi, hingga pelatihan manajerial untuk kepala unit layanan. Pendekatan ini selaras dengan SDG 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi), yang mendorong penguatan sektor informal menjadi bagian dari sistem ekonomi sirkular.

5. Peran Provinsi sebagai Pembina Daerah

Dalam pembagian kewenangan menurut UU No. 23 Tahun 2014, urusan persampahan menjadi tanggung jawab kabupaten/kota. Namun, peran provinsi sebagai pembina dan pengawas teknis menjadi sangat penting, terutama dalam:
  • Harmonisasi kebijakan kabupaten/kota dalam satu wilayah.
  • Dukungan teknis dan pelatihan lintas daerah.
  • Monitoring dan evaluasi pelaksanaan RIPS serta kinerja kepala daerah.
Koordinasi vertikal dan horizontal harus menjadi kunci dalam desain kelembagaan. Oleh karena itu, Perpres 12/2025 mendorong pembentukan Tim Koordinasi Nasional dan Kelompok Kerja di tingkat daerah untuk memastikan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan persampahan secara nasional.

PEMBIAYAAN, INSENTIF, DAN SKEMA INOVATIF DALAM PENGELOLAAN SAMPAH

Salah satu kunci keberhasilan reformasi pengelolaan sampah adalah keberlanjutan pembiayaan . Sistem pengelolaan sampah yang terintegrasi dari hulu ke hilir menuntut investasi yang tidak kecil, baik untuk infrastruktur fisik, operasional layanan, maupun peningkatan kapasitas kelembagaan. Oleh karena itu, pemerintah mendorong pendekatan pembiayaan yang tidak hanya mengandalkan APBN dan APBD, tetapi juga membuka ruang untuk skema inovatif dan partisipatif.

1. Struktur Pembiayaan Berjenjang: Pusat–Provinsi–Kabupaten/Kota

Dalam kerangka regulasi nasional, UU No. 18 Tahun 2008 dan PP No. 81 Tahun 2012 mengatur bahwa pendanaan pengelolaan sampah menjadi tanggung jawab utama pemerintah kabupaten/kota , didukung oleh provinsi dan pusat. APBD kabupaten/kota menjadi sumber utama pembiayaan operasional, sedangkan APBN dan APBD provinsi bersifat stimulan.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak daerah mengalami keterbatasan fiskal. Maka dari itu, dibutuhkan perluasan sumber pendanaan, peningkatan efisiensi alokasi anggaran, serta pembenahan sistem retribusi.

“Pengelolaan sampah sebagai urusan wajib pelayanan dasar harus didukung oleh pembiayaan yang memadai dan berkelanjutan” (PP No. 2 Tahun 2018 tentang SPM).

2. Penguatan Retribusi dan Prinsip “Polluter Pays”

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 UU 18/2008 , sistem pengelolaan sampah harus menerapkan prinsip polluter pays , yakni pihak yang menghasilkan sampah harus turut menanggung biaya pengelolaannya. Namun, dalam praktiknya, retribusi persampahan di banyak daerah masih belum berbasis volume atau intensitas layanan, sehingga belum mencerminkan prinsip keadilan fiskal.

Perpres 12 Tahun 2025 mendorong agar tarif retribusi ditinjau ulang dan disesuaikan dengan kemampuan bayar masyarakat serta skema insentif/disinsentif yang adil. Salah satu pendekatan yang diajukan adalah menambahkan komponen pengelolaan sampah dalam Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) .

Ini memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk menginternalisasi biaya pengelolaan sampah ke dalam sistem pajak lokal, yang lebih stabil dan berkelanjutan.

3. Pemanfaatan Dana Desa untuk Infrastruktur Persampahan

Dalam konteks perdesaan, Dana Desa menjadi sumber pembiayaan potensial untuk pengelolaan sampah. Perpres 12/2025 mengarahkan Dana Desa untuk mendukung:
  • Penyediaan layanan dasar seperti air minum, sanitasi, dan pengelolaan persampahan.
  • Pembangunan TPS skala desa atau TPS3R.
  • Penguatan kelembagaan berbasis masyarakat seperti BUMDes atau KSM Persampahan.
Penggunaan Dana Desa untuk urusan persampahan juga sejalan dengan prinsip pembangunan desa berkelanjutan dan zero waste village yang kini menjadi gerakan nasional.

4. Kemitraan Pemerintah–Swasta (KPBU) dan Pembiayaan Alternatif

Pengelolaan sampah memerlukan investasi besar, terutama untuk proyek seperti Waste-to-Energy (WTE) , Refused Derived Fuel (RDF) , atau revitalisasi TPA menjadi sanitary landfill. Dalam hal ini, model Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) menjadi alternatif strategis.

Perpres 35 Tahun 2018 dan Perpres 12 Tahun 2025 secara eksplisit mendorong pemda untuk:
  • Menyiapkan project readiness criteria dan business model yang bankable.
  • Memfasilitasi skema pembiayaan campuran (blended finance).
  • Mengoptimalkan peran pusat sebagai fasilitator regulasi, bukan penyandang dana utama.
Keberhasilan model KPBU dalam pengelolaan sampah sudah mulai terlihat di beberapa kota seperti Surabaya dan Jakarta, meskipun masih terbatas.

5. Dukungan Insentif Berbasis Kinerja

Insentif berbasis kinerja menjadi alat untuk mendorong daerah lebih aktif dalam menjalankan agenda persampahan. Dalam hal ini, pemerintah pusat melalui KLHK dapat:
  • Memberikan dana insentif kepada daerah yang berhasil menurunkan volume sampah residu.
  • Menyediakan penghargaan dan alokasi dana tambahan bagi kabupaten/kota dengan skor Indeks Kinerja Pengelolaan Sampah (IKPS) tinggi.
  • Memberikan fasilitasi teknis dan akses ke proyek pembiayaan inovatif.
Insentif semacam ini tidak hanya berdampak pada peningkatan pelayanan, tetapi juga dapat menciptakan kompetisi sehat antar-daerah dalam reformasi tata kelola persampahan.

PENGUKURAN KINERJA DAN PERAN INDEKS KINERJA PENGELOLAAN SAMPAH (IKPS)

Dalam setiap kebijakan publik, keberhasilan pelaksanaan sangat bergantung pada kemampuan untuk memantau, mengukur, dan mengevaluasi kinerja secara sistematis . Dalam konteks pengelolaan sampah, pengukuran kinerja daerah menjadi semakin penting, mengingat urgensi untuk memastikan akuntabilitas layanan dan efektivitas penggunaan sumber daya.

Untuk menjawab kebutuhan tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengembangkan alat ukur berbasis indikator kuantitatif dan kualitatif yang dikenal sebagai Indeks Kinerja Pengelolaan Sampah (IKPS).

1. Fungsi IKPS dalam Reformasi Persampahan

IKPS berfungsi sebagai instrumen evaluatif bagi kinerja pemerintah daerah (kabupaten/kota) dalam mengelola sistem persampahan. Indeks ini digunakan untuk:
  • Menilai pencapaian pelaksanaan strategi nasional seperti Jakstranas dan RIPS daerah.
  • Mendorong peningkatan layanan dasar melalui pemeringkatan kinerja.
  • Menjadi dasar pemberian insentif atau fasilitasi dari pemerintah pusat.
Perpres 12 Tahun 2025 secara eksplisit menyebut bahwa pengelolaan sampah harus menjadi indikator kunci kinerja kepala daerah . Dengan demikian, IKPS berfungsi tidak hanya sebagai alat teknis, tetapi juga sebagai policy driver untuk perubahan sistemik di tingkat lokal.

2. Indikator Penilaian IKPS

IKPS dikembangkan dengan pendekatan multi-dimensi yang mencerminkan kompleksitas sistem persampahan. Beberapa indikator utama yang diukur antara lain:
  • Ketersediaan dan kualitas RIPS daerah.
  • Persentase timbulan sampah yang terkelola.
  • Persentase pemilahan sampah dari sumber.
  • Jumlah dan kapasitas TPS3R, TPST, dan rumah kompos.
  • Keterlibatan masyarakat dan sektor informal.
  • Kepatuhan terhadap regulasi (NSPK, izin, pengawasan).
Setiap indikator diberikan bobot tertentu dan dinilai berdasarkan standar minimal yang telah ditetapkan oleh KLHK.
“IKPS tidak hanya menilai kuantitas, tetapi juga menilai efektivitas tata kelola, partisipasi masyarakat, dan keberlanjutan program” (KLHK, 2022).

3. Integrasi IKPS dalam Sistem Perencanaan dan Penganggaran

Salah satu nilai strategis dari IKPS adalah kemampuannya untuk diintegrasikan ke dalam proses perencanaan pembangunan daerah (RPJMD) dan sistem penganggaran berbasis kinerja. Dengan mengaitkan skor IKPS terhadap alokasi belanja daerah atau Dana Insentif Daerah (DID), IKPS menjadi insentif fiskal tersendiri.

Selain itu, IKPS juga digunakan dalam:
  • Evaluasi pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang lingkungan hidup.
  • Penilaian kinerja OPD teknis (dinas lingkungan hidup) .
  • Penilaian capaian RPJMN melalui agregasi skor nasional.

4. Penguatan dan Pengembangan Sistem IKPS

Agar IKPS terus relevan dan adaptif terhadap dinamika di lapangan, diperlukan penguatan sistem penilaian yang mencakup:
  • Digitalisasi pelaporan kinerja , melalui platform yang dapat diakses daerah secara real-time.
  • Validasi data lapangan oleh pihak ketiga independen.
  • Peningkatan kapasitas petugas pengelola data dan pelapor IKPS di daerah.Dengan demikian, IKPS bukan hanya alat evaluasi, melainkan juga alat pembelajaran (learning tool) dan dasar advokasi untuk perbaikan layanan persampahan secara berkelanjutan.

Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis

Reformasi pengelolaan sampah di Indonesia telah memasuki fase transformatif, dengan kerangka hukum yang relatif lengkap dan arah kebijakan pembangunan yang semakin terintegrasi. Melalui kombinasi regulasi sektoral—seperti UU No. 18 Tahun 2008 , PP No. 81 Tahun 2012 , hingga Perpres No. 97/2017, 35/2018, dan 83/2018 —dan arus utama kebijakan nasional dalam Perpres No. 12 Tahun 2025 , pemerintah mendorong pengelolaan sampah sebagai isu strategis lintas sektor, bukan sekadar urusan teknis lingkungan.

Pendekatan reformasi dari hulu ke hilir telah menjadi norma baru dalam kebijakan publik, mencakup perubahan perilaku, peningkatan literasi sampah, pemisahan regulator dan operator, optimalisasi pembiayaan, hingga penggunaan teknologi tepat guna. Di sisi lain, tata kelola kelembagaan, penguatan peran daerah, pemanfaatan Dana Desa, serta pengembangan Indeks Kinerja Pengelolaan Sampah (IKPS) menjadi pilar penting dalam memastikan keberlanjutan reformasi.

Namun demikian, berbagai tantangan masih perlu diatasi. Keterbatasan fiskal daerah, lemahnya koordinasi antarlembaga, belum maksimalnya pemanfaatan peran masyarakat dan sektor informal, serta belum meratanya kapasitas kelembagaan, masih menjadi hambatan struktural dalam sistem pengelolaan sampah nasional.

Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis yang dapat memperkuat konsistensi implementasi kebijakan sekaligus mendorong inovasi lokal.

Rekomendasi Strategis

  1. Percepat penyusunan dan legalisasi Rencana Induk Pengelolaan Sampah (RIPS) di seluruh kabupaten/kota, sebagai acuan formal perencanaan dan penganggaran.
  2. Dorong pembentukan BLUD Persampahan secara bertahap di daerah, serta fasilitasi peningkatan kapasitas operator layanan berbasis masyarakat dan swasta.
  3. Integrasikan sistem retribusi persampahan dengan basis data kependudukan dan properti , serta evaluasi kebijakan integrasi dengan PBB-P2 untuk perluasan basis pembiayaan.
  4. Optimalkan pemanfaatan Dana Desa dan program-program pemberdayaan lokal untuk pengelolaan sampah berbasis komunitas (TPS3R, bank sampah, maggot farm).
  5. Bangun sistem insentif berbasis hasil (performance-based incentives) melalui pemanfaatan IKPS dan skema insentif fiskal daerah.
  6. Tingkatkan partisipasi masyarakat melalui edukasi, regulasi ringan, dan kampanye perubahan perilaku yang kreatif dan adaptif terhadap budaya lokal.
  7. Fasilitasi inovasi daerah dalam pemilihan teknologi persampahan , dengan tetap menjamin standar keamanan lingkungan dan kelayakan finansial.

Penutup

Dengan memperkuat sinergi antara regulasi, kelembagaan, pembiayaan, teknologi, dan perilaku, Indonesia memiliki peluang besar untuk membangun sistem pengelolaan sampah yang inklusif, tangguh, dan berkelanjutan . Sejalan dengan amanat Perpres 12 Tahun 2025, pengelolaan sampah tidak boleh lagi dipandang sebagai beban, melainkan sebagai instrumen untuk membangun ketahanan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat secara holistik.

Sebagaimana disampaikan dalam laporan United Nations Environment Programme (2022) :
“Waste is not just a problem to solve, but an opportunity to transform.”
Transformasi itu kini ada di tangan kita bersama.

Daftar Pustaka

  • Badan Pusat Statistik. (2022). Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2022. Jakarta: BPS.
  • Badan Pusat Statistik. (2024). Proyeksi Kebutuhan Perumahan Layak Huni di Indonesia . Jakarta: BPS.
  • Fitriani, D., Widodo, T. W., & Sugiharto, T. (2021). Analisis perilaku masyarakat terhadap pengelolaan sampah rumah tangga berbasis 3R. Jurnal Ilmu Lingkungan , 19(1), 54–64. https://doi.org/10.14710/jil.19.1.54-64
  • Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services. (2019). Global Assessment Report on Biodiversity and Ecosystem Services . Bonn: IPBES Secretariat.
  • Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2022). Indeks Kinerja Pengelolaan Sampah (IKPS) Tahun 2022 . Jakarta: Direktorat Jenderal PSLB3, KLHK.
  • Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2024). Peta Permukiman Kumuh Nasional 2024 . Jakarta: Direktorat Jenderal Cipta Karya.
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
  • Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2025.
  • Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik.
  • Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut.
  • Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
  • Report on Food Loss and Waste in Indonesia. (2021). Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) & Waste4Change.
  • United Nations Environment Programme. (2022). Turning Waste into Resources: Global Waste Management Outlook 2 . Nairobi: UNEP.
  • World Health Organization. (2021). Air Quality Guidelines Global Update 2021: Particulate Matter, Ozone, Nitrogen Dioxide and Sulfur Dioxide . Geneva: WHO.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Posting Komentar