Oleh: J. Irianto Nainggolan, Annas Fikry, Annisa Dwi Paramitha
Ringkasan Eksekutif
Program Hibah The Development of
Integrated Farming System at Upland Areas (UPLAND) lahir dari kebutuhan
untuk menjawab tantangan pemenuhan pangan di Indonesia. Selama ini,
keterbatasan lahan subur di dataran rendah dan rendahnya kesejahteraan petani
menjadi masalah kronis yang menghambat pertumbuhan sektor pertanian. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (2015) mendapati bahwa, luas area lahan kering potensial pada
dataran tinggi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan pertanian
maupun peternakan mencapai sekitar 12,86 juta Ha. Melalui program UPLAND yang
dimulai pada tahun 2021, pemerintah berusaha mengoptimalkan potensi lahan
kering dataran tinggi yang luasnya mencapai 12,86 juta hektare. Program ini
tidak hanya bertujuan meningkatkan produktivitas pertanian, tetapi juga
memperkuat kelembagaan petani dan meningkatkan kesejahteraan rumah tangga
mereka.
Dari perspektif penyerapan dana hibah
di sembilan daerah sampel menunjukkan kinerja rata-rata penyerapan dana hibah
mencapai 91,8 persen. Infrastruktur pertanian seperti jalan usaha tani, embung,
dan irigasi telah terbangun, dengan capaian output rata-rata 70,1 persen hingga
tahun 2023. Terdapat dampak ekonomi yang dirasakan oleh petani penerima Hibah
UPLAND, di mana pendapatan diperkirakan meningkat sekitar 20 persen, produksi
komoditas naik 12 persen, dan terbentuk 40 korporasi petani yang menjadi tulang
punggung hilirisasi produk pertanian.
Meskipun demikian, pelaksanaan program
tidak sepenuhnya mulus. Sejumlah kendala ditemui, mulai dari keterlambatan
konsultan, kegagalan pengadaan bibit di awal masa tanam, hingga lambatnya
implementasi microfinance. Meskipun demikian, mayoritas daerah penerima hibah
menunjukkan kesiapan untuk melanjutkan program ini hingga 2026, baik dari aspek
perencanaan, penganggaran, maupun kelembagaan.
Perpanjangan program ke tahun 2026
yang semula direncanakan selesai pada tahun 2025 adalah momentum penting untuk melakukan
penyempurnaan dan memastikan program ini benar-benar memberikan manfaat
maksimal. Keberhasilan ke depan setidaknya bergantung pada kejelasan target
output sejak awal, percepatan mobilisasi konsultan, kedisiplinan dalam
pengadaan, serta percepatan pembangunan infrastruktur dan penguatan penyaluran microfinance
ke Petani UPLAND. Dengan komitmen bersama, program Hibah UPLAND dapat menjadi
tonggak transformasi pertanian dataran tinggi menuju sistem yang lebih
inklusif, produktif, dan berkelanjutan.
Latar Belakang
Pertanian di Indonesia menghadapi tantangan besar. Di satu sisi,
kebutuhan pangan terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk, perubahan pola
konsumsi, dan tuntutan akan diversifikasi pangan. Di sisi lain, lahan subur di
dataran rendah yang selama ini menjadi tumpuan pertanian semakin terbatas
akibat alih fungsi lahan dan tekanan pembangunan. Situasi ini membuat banyak
petani tetap berada dalam kondisi kesejahteraan yang stagnan, bahkan rentan
terhadap kemiskinan.
Di tengah keterbatasan tersebut, dataran tinggi menyimpan potensi besar
yang belum banyak dimanfaatkan. Penelitian Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian pada tahun 2015 menunjukkan terdapat
12,86 juta hektare lahan kering potensial di wilayah dataran tinggi. Lahan ini
bisa digunakan untuk mengembangkan pertanian maupun peternakan dengan
pendekatan yang tepat. Potensi inilah yang menjadi dasar lahirnya Program
UPLAND.
Program UPLAND resmi dimulai pada 2021 dengan dukungan pembiayaan dari
pinjaman luar negeri senilai USD 120 juta yang bersumber dari IFAD dan IsDB.
Dari jumlah tersebut, sekitar USD 75 juta atau Rp 1,13 triliun dialokasikan
melalui mekanisme hibah ke daerah (on granting). Hibah ini diberikan
kepada 14 daerah terpilih yang memiliki potensi pengembangan pertanian dataran
tinggi. Meski demikian, satu daerah, yakni Kabupaten Cirebon, memutuskan untuk
tidak melanjutkan keikutsertaan sehingga total penerima berkurang menjadi 13
daerah dengan nilai hibah Rp 693,8 miliar.
Kegiatan utama dalam Program UPLAND terdiri dari empat komponen/kegiatan
utama. Pertama, peningkatan produktivitas dan pembentukan ketahanan pangan.
Kedua, pengembangan agribisnis dan fasilitasi peningkatan pendapatan. Ketiga,
penguatan sistem kelembagaan petani. Kemudian, keempat, manajemen proyek. Dari
keempat komponen tersebut, dua komponen pertama dijalankan melalui mekanisme
hibah daerah.
Pada awalnya, UPLAND direncanakan berakhir pada 2024. Namun, atas permintaan pemerintah Indonesia dan persetujuan dari pihak lender, program diperpanjang hingga 2026. Perpanjangan ini menjadi peluang emas sekaligus tantangan. Di satu sisi, ada kesempatan memperluas manfaat dan memperbaiki efektifitas pelaksanaan program. Di sisi lain, waktu yang relatif singkat menuntut pelaksanaan yang lebih disiplin, efektif, dan efisien.
Capaian Program
Pelaksanaan UPLAND hingga 2024 menunjukkan capaian yang terus membaik meskipun di awal program agak tersendat. Dari sisi koordinasi, kerjasama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, Bappeda, BPKAD, dan kelompok tani berlangsung baik. Dinas Pertanian di daerah penerima berperan aktif dalam memasukkan UPLAND ke dalam RPJMD dan RKPD, sehingga pelaksanaan kegiatan memiliki dukungan perencanaan dan penganggaran yang kontinu.
Dari sisi keuangan, kinerja penyerapan hibah relatif memiliki tren naik. Di sembilan daerah sampel, rata-rata serapan mencapai 91,8 persen dari nilai Perjanjian Hibah Daerah. Sebagaimana Gambar 1 terlihat bahwa Kabupaten Magelang mencatat serapan tertinggi dengan rata-rata 86,43 persen per tahun, sementara Kabupaten Lombok Timur sempat tertinggal karena kegagalan pengadaan bibit bawang putih di awal. Namun demikian, daerah ini tetap mampu mengejar ketertinggalan di tahun-tahun berikutnya. Selanjutnya, pada gambar 2 tampak bahwa masih ada beberapa daerah-daerah yang merealisasikan Hibah UPLAND di bawah rata-rata nasional yaitu Kab. Lombok Timur, Kab. Sumbawa, Kab. Tasikmalaya, dan Kabupaten Purbalingga.
.....
Kesimpulan
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa
Program Hibah UPLAND telah memberikan kontribusi bagi pembangunan pertanian di
wilayah dataran tinggi Indonesia. Melalui pemanfaatan dana hibah yang terus
meningkat dari tahun ke tahun dan output yang dihasilkan, program ini mampu
meningkatkan pendapatan petani sampai titik tertentu, memperluas akses pasar
melalui kelembagaan petani, serta mendorong diversifikasi komoditas sesuai
potensi lokal. Berdasarkan data yang diperoleh, intervensi bidang pertanian
dengan mekanisme hibah daerah sedikit banyak dapat memberikan perubahan positif
bagi masyarakat petani.
Meskipun
demikian, tantangan yang muncul tidak bisa diabaikan. Keterlambatan konsultan,
kendala teknis pengadaan bibit, keterbatasan dalam praktik budidaya, serta
lambannya pelaksanaan microfinance menunjukkan bahwa tata kelola dan manajemen
program masih perlu diperkuat. Hambatan-hambatan ini memberikan pelajaran
berharga agar pelaksanaan ke depan dapat berjalan lebih disiplin, tepat waktu,
dan lebih responsif terhadap kebutuhan lapangan.
Perpanjangan program hingga 2026
menjadi peluang penting untuk memaksimalkan manfaat UPLAND sekaligus meningkatkan
efektifitas pelaksanaan. Daerah penerima hibah telah menunjukkan kesiapan dari
sisi perencanaan, penganggaran, dan kelembagaan, sehingga tinggal menunggu
langkah-langkah strategis yang lebih terarah dari pemerintah pusat, dalam hal
ini Kementerian Pertanian selaku executing agency. Dengan komitmen yang
kuat dan koordinasi yang lebih solid, program UPLAND secara keseluruhan dapat
menjadi alternatif model untuk transformasi pertanian dataran tinggi menuju
sistem yang lebih produktif, berkelanjutan, dan inklusif sekaligus mendukung
ketahanan pangan nasional.
Rekomendasi
Agar perpanjangan UPLAND berhasil,
sejumlah langkah strategis harus dilakukan. Pertama, target output harus
dikunci sejak awal agar capaian lebih terukur. Kedua, mobilisasi konsultan
teknis perlu dipercepat untuk menghindari penundaan kegiatan. Ketiga, proses
pengadaan bibit harus dijalankan secara disiplin sesuai siklus tanam agar tidak
mengulang kegagalan masa lalu. Keempat, pembangunan infrastruktur yang
membutuhkan waktu lama perlu diprioritaskan pada tahun 2025 agar tidak menumpuk
di tahun terakhir program. Kelima, implementasi microfinance harus segera
dipercepat dengan mendorong penerbitan perda penyertaan modal bagi daerah yang
belum ada perdanya dan mempercepat penyaluran kredit ke petani UPLAND bagi
daerah yang sudah tersedia perdanya.