Oleh: Puji Eddi Nugroho
Foto: Sekolah Rakyat pada Sentra Handayani di
Cipayung, Jakarta Timur
Sekolah Rakyat Sebelum dan Setelah Era Presiden Prabowo Subianto
Sekolah
Rakyat di masa awal kemerdekaan RI (1945–1950-an) merupakan sebutan untuk
jenjang pendidikan dasar 6 tahun setara Sekolah Dasar (SD) yang bertujuan untuk
memberantas buta huruf dan membentuk warga negara baru yang melek baca tulis
serta nasionalis. Kurikulum
berfokus pada membaca, menulis, berhitung (calistung), serta
pelajaran kewarganegaraan. Kemudian pada 1950 an, istilah SR diganti menjadi SD seiring dengan pembakuan sistem pendidikan nasional. Kemudian pada
tahun 2000 an, Sekolah Rakyat sebagai Gerakan Sosial Alternatif.
Dengan
konsep yang berbeda, yakni
sebagai gerakan pendidikan alternatif, biasanya diselenggarakan oleh LSM,
komunitas, atau individu bertujuan untuk memberikan akses pendidikan nonformal dan gratis bagi masyarakat miskin, anak
jalanan, pekerja anak, dan komunitas marginal.
Sementara di era Presiden Prabwo, Sekolah Rakyat
adalah program unggulan pemerintah yang didirikan sebagai upaya memutus rantai
kemiskinan melalui pendidikan. Program ini ditujukan bagi anak-anak dari
keluarga miskin dan miskin ekstrem berdasarkan Data Tunggal Sosial Ekonomi
Nasional (desil 1 dan desil 2 DTSEN). SR didesain sebagai sekolah berasrama untuk memastikan para siswa
mendapatkan pendidikan dan pengasuhan yang optimal.
Program SR dibentuk berdasarkan Instruksi
Presiden Nomor 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan
Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Amanah tersebut diemban oleh
Kementerian Sosial dengan tugas antara lain membentuk dan menyelenggarakan sekolah rakyat berasrama
bagi masyarakat miskin dan miskin ekstrem; menyiapkan
dan menyusun kurikulum SR berasrama yang berlandaskan pada sekolah formal dan
sekolah karakter; dan menyiapkan sarpras dan asrama. Selin itu, SR merupakan
pelaksanaan Asta Cita keempat dan pasal 31 UUD 1945 serta UU Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Program SR tersebut antara lain dilatarbelakangi adanya kondisi
sosial-ekonomi bahwa 3 juta anak Indonesia tidak
bersekolah mayoritas berasal dari keluarga termiskin dan hasil Survey Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS tahun 2021 menyebut 76% keluarga mengakui
anaknya putus sekolah karena alasan ekonomi.
Implementasi Program Sekolah Rakyat
Sekolah Rakyat dengan konsep berasrama tingkat SD,
SMP, dan SMA (Tahap I) tahun ajaran 2025/2026 dimulai 14 Juli 2025 yang tersebar
di 29 provinsi. Lokasi SR berada di Pulau Jawa (48), Sumatra (22), Sulawesi
(15), Bali-Nusa Tenggara (4), Kalimantan (4), Maluku (4), dan Papua (3). Dilaunching
tahap IA di 63 titik di 22 provinsi pada awal masa tahun ajaran baru dan tahap
I B sampai dengan akhir Juli di 37 titik di 7 provinsi lain. Dan selanjutnya
pada tahap IC pada Agustus sampai September dengan target 100 SR. Rencana total kapasitas peserta didik pada tahap I mencapai 9.780 siswa, sebagaimana tabel
berikut:
Tabel Sekolah Rakyat, Jenjang dan Kapasitas Siswa
Tahap Awal
Jenjang
Pendidikan |
Jumlah Sekolah |
Rombongan Belajar |
Jumlah Siswa |
SD & SMP |
2 |
8 |
200 |
SD, SMP & SMA |
3 |
16 |
400 |
SMP |
32 |
115 |
2.875 |
SMP & SMA |
19 |
81 |
2.000 |
SMA |
44 |
176 |
4.305 |
Total |
100 |
396 |
9.780 |
Sumber; Kementerian Sosial (Juli 2025)
Untuk
pelaksanaannya di TA 2025, anggaran program SR dialokasikan pada Daftar
Pelaksanaan Anggaran (DIPA) di empat satker pusat Kementerian Sosial. Pejabat perbendaharaan
merupakan pejabat existing di satker berkenaan. Secara paralel sebelum
akhir tahun 2025, Kemensos akan melaksanakan pelatihan dan sertifikasi pegawai
untuk diangkat sebagai Pejabat Pembuat Komitment (PPK) dan Bendahara
Pengeluaran (BPP) di setiap SR. Selanjutnya pada TA 2026 secara bertahap akan
dibentuk satker di setiap SR dengan perangkat pengelola keuangan yang ada
sebelumnya.
Sasaran
siswa SR adalah dari keluarga sangat miskin, dengan seleksi ketat sesuai
kriteria. Target lulusannya berkriteria cerdas
intelektual, bermental tangguh dan berkarakter kuat sebagai agen perubahan pada
setiap keluarga miskin. Harapannya SR dapat mencetak
generasi berliterasi tinggi, berkarakter, mandiri, dan professional dan pada gilirannya
nanti akan memutus keterbatasan sosial ekonomi seseorang anak.
Namun, dalam operasionalnya terdapat beberapa
tantangan antara lain kesinambungan penganggaran SR
untuk kebutuhan operasional pendanaan;
keterbatasaan pejabat perbendaharaan untuk implementasi SR
di daerah; kurangnya tenaga
kependidikan, wali asuh, wali asrama dan unsur pendamping lainnya; kesiapan
fasilitas pendukung seperti asrama guru belum seluruhnya tersedia serta
diperlukan pengawas sekolah untuk menjamin kualitas dan efektivitas pendidikan
SR.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Ringkasnya
bahwa program SR ini merupakan strategi presiden dalam pengentasan kemiskinan
melalui pendidikan berkualitas dan inklusif dilakukan secara bertahap. Dengan melibatkan
semua jenjang dan kolaborasi lintas kementerian antara lain Kemensos (sebagai penanggungjawab),
Kemendikbud, Kemenag, Kemen PU, KemenPAN-RB, dan BKN, serta Pemda, perguruan
tinggi, swasta dan masyarakat maka Sekolah
Rakyat hadir sebagai jawaban pemerintah terhadap kesenjangan akses Pendidikan
yang inklusif.
Dengan
berbagai tantangan sekaligus peluang, harapannya tujuan mulia program SR
tersebut dapat tercapai secara efektif. Namun, tentunya untuk implementasinya
diharapkan mempunyai beberapa strategi antara lain mengoptimalkan skema blended finance dari APBN,
APBD dan kontribusi swasta serta masyarakat; monitoring dan evaluasi berkala atas operasionalisasi
program SR; asistensi dan bimbingan teknis kepada satuan kerja pelaksana
program terkait perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban; dan sinergi
dengan kementerian/lembaga teknis termasuk satker vertikal untuk keselarasan
antara perencanaan dan implementasi program di lapangan.