Trending

Evaluasi Alokasi dan Dampak Output DAK Fisik Air Minum “Mengarahkan DAK Air Minum Lebih Tepat Sasaran”

Oleh: Annisa Dwi Paramitha, M.M

Latar Belakang

Akses terhadap air minum yang aman dan terjangkau merupakan kebutuhan dasar masyarakat sekaligus bagian dari komitmen global Indonesia dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 6.1: Universal access to safe and affordable drinking water by 2030. Untuk mendukung pencapaian ini, salah satunya, pemerintah mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Bidang Air Minum kepada daerah guna membiayai penyediaan infrastruktur air minum, termasuk pembangunan sambungan rumah (SR), perluasan sistem, dan peningkatan kapasitas pelayanan.

Namun, efektivitas program ini masih menjadi pertanyaan penting. Ketidaksesuaian antara tingkat kebutuhan masyarakat (seperti kemiskinan) dan besaran dana yang dialokasikan, lemahnya korelasi antara dana dan output, hingga potensi ketidakefisienan dalam pemanfaatan dana menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh. Evaluasi ini penting agar kebijakan alokasi dan pelaksanaan DAK Fisik lebih tepat sasaran, efisien, dan berdampak nyata terhadap peningkatan layanan dasar air minum. Oleh karena itu, evaluasi yang komprehensif perlu mencakup tidak hanya analisis kuantitatif terhadap hubungan antara alokasi dan capaian output, tetapi juga faktor-faktor kualitatif yang memengaruhi kinerja program di lapangan.

Tujuan
Evaluasi ini bertujuan untuk:
  1. Mengukur ketepatan alokasi DAK terhadap kebutuhan daerah, khususnya ditinjau dari tingkat kemiskinan, sebagai indikator kebutuhan dasar layanan air minum, dan peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) air minum pada wilayah terkait.
  2. Menilai kekuatan hubungan antara besaran dana yang disalurkan dan output fisik yang dihasilkan, dalam hal ini jumlah sambungan rumah (SR).
  3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi capaian output SR, mengenai sejauh mana Penyaluran DAK Fisik Air Minum dan jumlah penduduk miskin berperan dalam menentukan hasil yang dicapai.
  4. Menilai efisiensi teknis antar daerah dalam mengonversi input menjadi output, untuk mengetahui wilayah yang belum optimal dan paling optimal dalam menggunakan DAK Fisik Air Minum dalam penciptaan output jumlah sambungan rumah (SR) dan rencana tindak lanjutnya.

Data dan Metodologi
Analisis dalam evaluasi menggunakan data sekunder yang bersumber dari Online Monitoring Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (OMSPAN), Kementerian Keuangan, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Laporan Evaluasi BUMD Air Minum, Kementerian Pekerjaan Umum (KemenPU).
Adapun, pendekatan evaluasi menggunakan metode campuran (mixed methods) meliputi analisis kuantitatif dan kualitatif, sebagai berikut:

1.      Kuantitatif, meliputi:

  • Analisis gap dan visualisasi ketimpangan dengan menggunakan scatterplot untuk mengevaluasi ketepatan alokasi terhadap tingkat kemiskinan.
  • Uji korelasi untuk mengukur hubungan antara alokasi dana dan output fisik.
  • Regresi data panel (Fixed Effects Model) untuk mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi jumlah SR, dengan variabel independen berupa nilai salur DAK Fisik Air Minum dan proporsi jumlah penduduk miskin.
  • DEA (Data Envelopment Analysis) dengan model BCC (Variable Return to Scale) dan orientasi output untuk menilai efisiensi antar daerah.

2.      Kualitatif-deskriptif, berdasarkan data realisasi penyaluran dan capaian output DAK Fisik Bidang Air Minum yang diperoleh dari sistem OMSPAN (Online Monitoring Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Laporan Hasil Evaluasi Badan Usaha Air Minum (BUMD) Air Minum Seluruh Indonesia oleh Kementerian Pekerjaan Umum (KemenPU) yang digunakan untuk menginterpretasikan temuan dan memberikan konteks terhadap variasi kinerja antar daerah dan dukungan temuan analisis kuantitatif.

Metode ini memberikan gambaran menyeluruh mengenai ketepatan, efektivitas, dan efisiensi DAK Fisik Air Minum, serta menjadi dasar dalam merumuskan rekomendasi kebijakan yang lebih tepat sasaran dan berkeadilan.

Analisis dan Pembahasan

a.      Ketepatan Alokasi terhadap Kebutuhan Daerah

Salah satu indikator penting dalam menilai efektivitas alokasi DAK Fisik Air Minum adalah kesesuaiannya dengan tingkat kebutuhan daerah, khususnya berdasarkan jumlah penduduk miskin sebagai representasi kelompok yang paling membutuhkan layanan dasar. Scatter plot pada gambar 1 menggambarkan hubungan antara besaran nilai salur DAK Fisik tahun 2024 dan jumlah penduduk miskin pada tingkat kabupaten/kota penerima salur DAK Fisik Bidang Air Minum Tahun 2024 sebanyak 252 daerah.

Gambar 1
Scatter Plot: Nilai Salur DAK Fisik vs Jumlah Penduduk Miskin
Kabupaten/Kota Tahun 2024

Sumber: DJPK, Kemenkeu, 2025 (data diolah)

Hasil visualisasi menunjukkan bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut belum menunjukkan pola yang kuat atau signifikan. Sebaran titik data tampak masih menyebar luas, dan garis tren hanya menunjukkan kecenderungan meningkat yang sangat lemah. Artinya, tidak terdapat korelasi yang kuat antara tingginya jumlah penduduk miskin di suatu daerah dan besarnya alokasi DAK yang diterimanya. Secara umum, scatter plot antara nilai salur DAK Fisik Air Minum tahun 2024 dan jumlah penduduk miskin per kabupaten/kota menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan alokasi DAK yang tetap mengakomodasi daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan yang beragam. Hubungan antara kedua variabel belum sepenuhnya linier atau kuat secara statistik, pola persebaran ini menggambarkan adanya fleksibilitas kebijakan yang mempertimbangkan berbagai faktor di lapangan.

Selain penyaluran DAK Fisik Air Minum oleh pemerintah pusat, intervensi yang mendukung penapaian SDG 6.1 juga dilakukan di tingkat daerah melalui pengelolaan air minum oleh BUMD Air Minum. Pada Tahun 2024, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) telah melakukan evaluasi terhadap kinerja BUMD air minum di seluruh Indonesia melalui sejumlah indikator, seperti cakupan layanan, tingkat kebocoran air (NRW), pemenuhan Full Cost Recovery (FCR), serta kepemilikan dokumen perencanaan seperti RPAM dan RISPAM. Evaluasi ini bertujuan untuk menilai kesehatan operasional BUMD dan mendorong peningkatan layanan air minum di daerah.

Dalam hubungannya dengan pencapaian SDG 6.1, sasaran alokasi DAK Fisik Air Minum seharusnya selaras dengan kinerja/kapasitas pengelolaan BUMD Air minum di daerah. Daerah yang memiliki BUMD dengan kinerja kurang sehat sebaiknya memperoleh dukungan pembiayaan yang lebih besar dari pemerintah pusat sebagai bentuk intervensi perbaikan layanan. Dengan demikian, DAK Fisik berfungsi sebagai komplemen untuk memperkuat kelembagaan dan infrastruktur air minum di wilayah yang tertinggal secara operasional. Sebaliknya, daerah yang memiliki kinerja BUMD Air minum yang baik dapat dipertimbangkan untuk pengurangan intervensi DAK.

Tabel 1

Sepuluh Daerah dengan Salur DAK Fisik Air Minum  per Kapita Miskin tertinggi

dan Status Kinerja BUMD Tahun 2024

 

No

Nama Daerah

Salur DAK (Rp)

Jumlah Penduduk Miskin (jiwa)

Salur/miskin (Rp)

Kategori Kinerja BUMD Air Minum

1

Kab. Halmahera Utara

24,126,841,772.000

9480

2,545,026

Kurang Sehat

2

Kab. Bolaang Mongondow Selatan

18,575,784,560.000

7880

2,357,333

N/A

3

Kab. Pakpak Bharat

8,578,687,727.000

3730

2,299,916

N/A

4

Kab. Konawe Kepulauan

11,066,992,485.000

5360

2,064,737

N/A

5

Kota Magelang

14,029,311,403.000

7250

1,935,077

Sehat

6

Kab. Tapin

12,030,096,895.000

6550

1,836,656

Sehat

7

Kab. Hulu Sungai Selatan

14,452,716,243.000

8140

1,775,518

Sehat

8

Kab. Bengkulu Tengah

19,358,669,100.000

11980

1,615,916

Sehat

9

Kab. Pasangkayu

15,594,989,555.000

9950

1,567,336

Sehat

10

Kota Sabang

6,582,426,221.000

5170

1,273,197

Sehat

Sumber: Kementerian Keuangan dan Kementerian PU, 2025 (data diolah)


Hasil analisis menunjukan bahwa beberapa daerah dengan alokasi DAK Fisik Air Minum tinggi justru memiliki jumlah penduduk miskin yang rendah. Tabel 1 memperlihatkan sepuluh daerah penerima alokasi DAK Fisik Air Minum per penduduk miskin tertinggi, disandingkan data kinerja BUMD air minum di wilayah terkait. Beberapa daerah tersebut seperti Kota Magelang, Kota Sabang, Kabupaten Tapin, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan Kab. Mamuju sudah memiliki BUMD Air Minum dengan kinerja yang sudah dinilai sehat. Hal ini mengindikasikan bahwa infrastruktur dan kapasitas kelembagaan pengelolaan air di daerah-daerah tersebut sudah relatif baik. Oleh karena itu, alokasi DAK di masa mendatang untuk daerah-daerah ini perlu dipertimbangkan kembali, guna memberikan ruang prioritas bagi daerah lain yang memiliki angka kemiskinan lebih tinggi dan/atau kinerja BUMD yang masih memerlukan penguatan, sehingga prinsip keadilan dalam distribusi anggaran dapat lebih dioptimalkan.

Tabel 2

Sepuluh Daerah dengan Salur DAK Air Minum Tahun 2024

per Kapita Miskin terendah dan Status Kinerja BUMD

 

No

Nama Daerah

Salur DAK (Rp)

Jumlah Penduduk Miskin (jiwa)

Salur/miskin (Rp)

Rata-rata Kinerja BUMD Air Minum

1

Kab. Bantul

274,116,200

126930

2,160

Sehat

2

Kota Bekasi

1,043,725,535

128800

8,103

Sehat

3

Kab. Jember

2,160,817,000

224770

9,613

Sehat

4

Kota Pekanbaru

457,860,000

38170

11,995

Sakit

5

Kab. Langkat

1,198,179,578

96540

12,411

Kurang Sehat

6

Kab. Bantaeng

204,212,000

15800

12,925

Kurang Sehat

7

Kota Kupang

1,458,012,350

90340

16,139

Sehat

8

Kab. Cilacap

3,117,928,200

186080

16,756

Sehat

9

Kab. Kediri

2,902,153,099

159270

18,222

Sehat

10

Kab. Tangerang

5,001,850,224

266430

18,774

Sehat

Sumber: Kementerian Keuangan & Kementerian PU, 2025 (data diolah)

Sebaliknya, pada Tabel 2 didapati bahwa beberapa daerah dengan jumlah penduduk miskin yang tinggi tidak selalu memperoleh alokasi yang sebanding. Bahkan, beberapa daerah seperti Kota Pekanbaru, Kab. Langkat, dan Kab. Bantaeng juga tercatat memiliki kinerja BUMD Air Minum dengan status kurang sehat bahkan sakit. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat kebutuhan yang tinggi, kapasitas penyelenggara layanan di daerah belum optimal, yang dapat menjadi salah satu faktor pertimbangan alokasi. Oleh karena itu, dalam konteks pemerataan akses air minum, daerah-daerah ini perlu mendapatkan perhatian lebih melalui pertimbangan peningkatan alokasi DAK secara terarah, bersamaan dengan dukungan penguatan kapasitas kelembagaan BUMD agar mampu menyerap dan mengelola dana secara efektif.

Dari uraian di atas, analisis sebaran data dan komparasi menunjukan bahwa beberapa daerah dengan alokasi DAK tinggi memang tidak selalu memiliki tingkat kemiskinan yang besar. Hal tersebut dapat dimaknai sebagai upaya pemerintah dalam mengatasi backlog infrastruktur di wilayah yang mengalami tantangan teknis atau geografis, meskipun tidak termasuk dalam kategori termiskin. Namun, di sisi lain, masih terdapat ruang untuk meningkatkan ketepatan alokasi dengan menjadikan indikator kemiskinan dan kinerja BUMD air minum di daerah sebagai salah satu komponen pertimbangan utama dalam formula alokasi DAK Fisik Air Minum.

Hasil ini menjadi peluang untuk semakin menguatkan pendekatan berbasis kebutuhan dalam perencanaan alokasi DAK, khususnya melalui penguatan data kemiskinan dan kinerja BUMD Air Minum setempat sebagai elemen penting dalam penetapan prioritas. Dengan demikian, distribusi DAK di masa mendatang akan semakin responsif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat dan penguatan sinergi pembangunan untuk mendukung pencapaian tujuan pembangunan yang inklusif.

b. Efektivitas Penyaluran terhadap Output yang Dicapai

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2024 tentang Petunjuk Teknis DAK Fisik, penyaluran DAK Fisik Air minum ditujukan untuk mendukung peningkatan akses masyarakat terhadap layanan air minum yang aman dan layak. Sasaran alokasi ini mencakup pembangunan dan rehabilitasi Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), termasuk pengembangan jaringan perpipaan, peningkatan kapasitas pelayanan, serta penyambungan rumah tangga ke sistem air minum yang sudah tersedia. Dengan kata lain, DAK Fisik Bidang Air Minum menjadi instrumen fiskal yang ditujukan untuk memperkuat pencapaian target pembangunan nasional di bidang infrastruktur dasar, khususnya dalam mendukung target SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) terkait akses universal terhadap air bersih. Oleh karena itu, penting untuk mengevaluasi efektivitas alokasi DAK Fisik Bidang Air Minum terkait sejauh mana dana yang disalurkan mampu menghasilkan output nyata berupa jumlah Sambungan Rumah (SR) di daerah penerima.

Tabel 3

Hasil Analisis Korelasi Pearson

antara Alokasi DAK Fisik Air Minum

dan Total Sambungan Rumah (SR) Tahun 2024

Sumber: DJPK, Kemenkeu, 2025 (data diolah)

Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson antara variabel nilai penyaluran DAK Fisik Air Minum dan jumlah total Sambungan Rumah (SR), diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0.6484. Nilai ini menunjukkan adanya hubungan positif yang cukup kuat antara besaran dana yang disalurkan dengan capaian output fisik berupa SR. Artinya, secara umum, semakin besar dana DAK yang disalurkan ke suatu daerah, semakin tinggi pula jumlah sambungan rumah yang berhasil dibangun atau ditingkatkan. Selain itu, nilai probabilitas (p-value) sebesar 0.0000 mengindikasikan bahwa hubungan tersebut sangat signifikan secara statistik pada tingkat kepercayaan 99% (α = 0.01). Dengan demikian, hasil ini memperkuat dugaan bahwa besaran dana memang berkontribusi terhadap pencapaian output fisik. Namun, perlu diingat bahwa korelasi yang cukup kuat ini belum tentu mencerminkan efisiensi atau ketepatan sasaran, sehingga tetap diperlukan evaluasi lanjutan terkait kualitas output dan kebutuhan aktual masyarakat di masing-masing daerah.

Tabel 4
Perbandingan Penyaluran dan Capaian Output
DAK Fisik Bidang Air Minum
Tahun 2023 vs 2024
Sumber: Kemenkeu (data diolah)

Berdasarkan hasil analisis data pada Tabel 4, didapati peningkatan penyaluran DAK Fisik Bidang Air Minum Tahun 2024 sebesar 18,9%, semula sebesar Rp1.796.913.378.921 pada Tahun 2023 kemudian meningkat menjadi Rp 2.135.743.501.362 pada Tahun 2024. Di samping itu, secara umum juga terjadi peningkatan capaian SR pada tahun 2024 dibandingkan Tahun 2023. Dari penyaluran DAK Fisik Air Minum Tahun 2024 telah dihasilkan output sebanyak 335.626 SR. Jumlah tersebut meningkat dari semula didapati capaian output hanya sebanyak 241.972 SR pada penyaluran DAK Fisik Air Minum Tahun 2023, atau meningkat sebesar 38,7%. Berdasarkan hal tersebut, didapati temuan positif bahwa peningkatan ouput sambungan rumah berhasil melampaui peningkatan total penyaluran DAK Bidang Air Minum.

Selanjutnya, untuk mengetahui efkeivitas pada skala per provinsi dilakukan perbandingan capaian output total Sambungan Rumah (SR) dari DAK Fisik Air Minum tahun 2023 dan 2024. Gambar 2 di bawah ini menunjukan bahwa secara agregat per provinsi, capaian output DAK Fisik Air Minum berupa sambungan rumah ditemui sangat bervariasi. Pada beberapa provinsi didapati lonjakan capaian meliputi daerah-daerah di Provinsi Aceh, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebaliknya, beberapa daerah di Provinsi Sulwesi Barat justru menunjukkan penurunan output SR pada tahun 2024. Selain itu, beberapa provinsi tidak memiliki capaian, yang mengindikasikan bahwa tidak ada lagi alokasi DAK untuk bidang air minum di wilayah tersebut pada tahun berjalan. Fenomena tidak meratanya alokasi antar tahun ini penting untuk dicermati dalam konteks kesinambungan program, agar pembangunan infrastruktur air minum tidak terhenti di daerah yang sebelumnya sudah memulai.

Gambar 2

Capaian Output Sambungan Rumah (SR) Agregat Per Provinsi

dari Penggunaan DAK Fisik Air Minum Tahun 2024

  

Sumber: Kemenkeu (data diolah)


Sebagaimana petunjuk teknis pelaksanaan, secara umum penggunaan DAK Fisik Air Minum Tahun 2024 digunakan untuk: 1) Perluasan SPAM Jaringan Perpipaan; 2) Pembangunan Baru SPAM Jaringan Perpipaan; 3) Peningkatan SPAM Jaringan Perpipaan; 4) Pembangunan Transisi Curah untuk SPAM Regional; 5) Pembangunan Baru SPAM Bukan Jaringan Perpipaan Komunal; 6) Persetujuan Pemerintah terhadap Rencana Kegiatan. Berkenaan dengan hal tersebut, bersumber dari OMSAPN bahwa pada penggunaan DAK Fisik Air Minum Tahun 2024, sambungan rumah merupakan ukuran output dari: 1) Pembangunan Instalasi Pengolahan Air (IPA)/ Broncaptering/ Sumur Dalam Terlindungi; 2) Pengembangan Jaringan Distribusi dan Sambungan Rumah , dan 3) Uprating Instalasi Pengolahan Air (IPA)/ Penambahan Sumur Dalam Terlindungi/ Broncaptering. Tabel 5 di bawah ini memperlihatkan capaian output sambungan rumah terbesar dan terkecil dari DAK Fisik Air Minum Tahun 2024.
Tabel 5
Daerah dengan Capaian Output Sambungan Rumah terbesar dan terkecil
dari Penggunaan DAK Fisik Bidang Air Minum Tahun 2024

Nama Daerah

Pembangunan Instalasi Pengolahan Air (IPA)/ Broncaptering/ Sumur Dalam Terlindungi

Pengembangan Jaringan Distribusi dan Sambungan Rumah

Uprating Instalasi Pengolahan Air (IPA)/ Penambahan Sumur Dalam Terlindungi/ Broncaptering

Grand Total

10 Terbesar

 Kab. Wonosobo

4.811

3.069

7.880

 Kab. Aceh Utara

6.855

6.855

 Kab. Garut

585

2.717

3.145

6.447

 Kab. Aceh Timur

1.918

3.852

5.770

 Kab. Lebak

2.024

3.672

5.696

 Kab. Bengkulu Tengah

5.257

5.257

 Kab. Melawi

2.088

1.767

847

4.702

 Kab. Brebes

4.606

4.606

10 Terkecil

 Kab. Bantul

41

41

 Kota Madiun

48

48

 Kab. Bangka

66

66

 Kota Bekasi

70

70

 Kota Tebing Tinggi

80

80

 Kota Probolinggo

100

100

 Kota Tegal

105

105

 Kab. Bangka Tengah

119

119

 Kab. Bandung Barat

123

123

 Kota Batu

123

123

Sumber: DJPK, Kemenkeu 2025 (data diolah)

Secara keseluruhan, analisis menunjukkan bahwa meskipun program DAK Fisik Air Minum secara efektif memberikan dampak positif secara nasional, diperlukan strategi pengalokasian yang lebih berkelanjutan dan adil antar daerah serta disesuaikan dengan target nasional.

c. Kontribusi DAK terhadap Target Akses Air Minum

Analisis regresi data panel dilakukan untuk menguji pengaruh besaran alokasi DAK Fisik Air Minum dan jumlah penduduk miskin terhadap jumlah sambungan rumah (SR) yang dihasilkan pada tahun 2023–2024 di berbagai daerah. Prosedur uji chow dan uji hausman telah dilakukan dan menunjukan bahwa pendekatan Fixed Effects Model (FEM) tepat digunakan dalam regresi data panel tersebut. Analisis regresi ini menggunakan data seluruh daerah kabupaten dan kota penerima salur alokasi DAK Fisik Air Minum pada Tahun 2023 dan Tahun 2024 sebanyak 222 daerah.

Persamaan Regresi yang digunakan sebagai berikut:

SRit​=α+β1​DAKF_AIRMINUMit​+β2​PENDUDUK_MISKINit​+εit​ …………………………(1)


Keterangan:
i: indeks daerah (kabupaten/kota)
t: indeks waktu (tahun)
SR: Jumlah Sambungan Rumah (unit)

DAKF_AIRMINUM: Penyaluran DAK Fisik Air Minum Daerah Kabupaten/Kota (Rp)

PENDUDUK_MISKIN: Jumlah Penduduk Miskin Daerah Kabupaten/Kota (jiwa)

 


Tabel 6
Hasil Regresi Panel: Pengaruh Alokasi DAK Fisik Air Minum
dan Kemiskinan terhadap Capaian Output
Sambungan Rumah (2023–2024)

Sumber: DJPK, Kemenkeu 2025 (data diolah)

Hasil regresi sebagaimana ditunjukan pada Tabel 6 menunjukkan bahwa variabel salur DAKF_AIRMINUM memiliki koefisien positif sebesar 0.0000001854 dan signifikan secara statistik pada tingkat kepercayaan 0,05% (p-value = 0.0000). Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 rupiah alokasi DAK Fisik Air Minum akan meningkatkan output sambungan rumah (SR) sebesar ± 0.0000001854 unit, dengan asumsi variabel lain konstan. Ini menegaskan adanya hubungan positif yang kuat antara besaran dana yang dialokasikan dengan capaian output fisik. Sebaliknya, pada variabel PENDUDUK_MISKIN justru berpengaruh negatif, meskipun tidak signifikan (koefisien = -003610; p-value =0,4234). Hal tersebut dapat diartikan bahwa setiap tambahan 1 jiwa penduduk miskin justru dapat menurunkan output sambungan rumah sebesar ±0.00361 unit. Temuan ini mengindikasikan bahwa daerah dengan jumlah penduduk miskin yang lebih tinggi dapat memiliki kecenderungan menghasilkan capaian output SR yang lebih rendah, setelah memperhitungkan besaran dana yang disalurkan. Hal tersebut dapat mencerminkan adanya tantangan struktural dan non-teknis di daerah miskin seperti keterbatasan kapasitas pemerintah daerah, tantangan geografis, atau kesenjangan perencanaan yang berdampak pada efektivitas pelaksanaan program.

Hasil regresi dengan pengaruh positif DAKF Air Minum terhadap sambungan rumah mengindikasikan sinyal positif efektivitas penyaluran DAK Fisik Air Minum. Namun, jika dilihat dari besaran pengaruhnya masih terbilang sangat kecil. Hasil regresi menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 rupiah alokasi DAK Fisik Air Minum akan meningkatkan output sambungan rumah (SR) sebesar ± 0.0000001854 unit, Jika dibandingkan, dengan asumsi rata-rata biaya pemasangan sambungan rumah baru sebesar Rp1.750.000,00 maka setiap 1 rupiah alokasi semestinya berdampak terhadap peningkatan output sebesar 0,00000005714. Hal ini mengindikasikan bahwa pemanfaatan DAK Fisik di daerah masih belum sepenuhnya optimal.

Selanjutnya, untuk mempertajam hasil analisis, dilakukan pengelompokan daerah ke dalam kuadran sebagaimana pada Gambar 3 di bawah ini. Pengelompokan terdiri dari Kuadran 1 (Nilai Salur DAK Fisik Air Minum tinggi, Jumlah Penduduk Miskin tinggi), Kuadran 2 (Nilai Salur DAK Fisik Air Minum rendah, Jumlah Penduduk Miskin Tinggi), Kuadran 3 (Nilai Salur DAK Fisik Air Minum rendah, Jumlah Penduduk Miskin tinggi), dan Kuadran 4 (Nilai Salur DAK Fisik Air Minum tinggi, Jumlah Penduduk Miskin rendah). Dari hasil pengelompokan didapati bahwa sebaran penyaluran DAK Fisik Air Minum terkonsentrasi pada daerah dengan jumlah penduduk miskin rendah yaitu pada kuadran 3, sebanyak 73 daerah, dengan salur DAK Fisik Air Minum yang rendah dan pada kuadran 4, sebanyak 62 daerah, dengan salur DAK Fisik Fisik Air Minum yang tinggi. Adapun, pengelompokan ini dengan tujuan untuk melakukan analisis parsial untuk melihat hubungan/pengaruh dari nilai salur DAK Fisik Air Minum dan jumlah penduduk miskin terhadap output sambungan rumah pada kelompok daerah sesuai dengan karakteristik masing-masing kuadran.

Gambar 3
Pengelompokan Daerah Kabupaten/Kota Penerima DAK Fisik Air Minum
Berdasarkan Besaran Penyaluran dan Jumlah Penduduk Miskin
Tahun 2024

Sumber: Diolah Penulis

Analisis regresi data panel sebagaimana pada persamaan 1 kemudian dilakukan terhadap seluruh kelompok daerah (kuadran 1 s.d. 4). Persamaan regresi data panel pada masing-masing kuadran sebagai berikut:

Kuadran 1 (Salur DAK Fisik Air Minum tinggi, Penduduk Miskin tinggi)
SRit1=α1+β11⋅DAKF_AIRMINUMit+β21⋅PENDUDUK_MISKINit+εit1……………………,,(2)

Kuadran 2 (Salur DAK Fisik Air Minum rendah, Penduduk Miskin tinggi)
SRit2=α2+β12⋅DAKF_AIRMINUMit+β22⋅PENDUDUK_MISKINit+εit2……………………..(3)

Kuadran 3 (Salur DAK Fisik Air Minum rendah, Penduduk Miskin rendah)
SRit3=α3+β13⋅DAKF_AIRMINUMit+β23⋅PENDUDUK_MISKINit+εit3……………………..(4)

Kuadran 4 (Salur DAK Fisik Air Minum tinggi, Penduduk Miskin rendah)
SRit4=α4+β14⋅DAKF_AIRMINUMit+β24⋅PENDUDUK_MISKINit+εit4……………………..(5)

 Tabel 7

Hasil Regresi Panel: Pengaruh Alokasi DAK Fisik Air Minum
dan Kemiskinan terhadap Capaian Output Sambungan Rumah
(2023–2024) Berdasarkan Pemetaan Kuadran


Sumber: DJPK, Kemenkeu 2025 (data diolah)

Hasil analisis regresi untuk keempat kuadran, sebagaimana persamaan (2) sampai dengan (3), ditampilkan pada Tabel 7. Hasil regresi tersebut menunjukan pengaruh yang bervariasi dari variable independen (nilai penyaluran DAK Fisik Air Minum dan Jumlah Penduduk Miskin) terhadap variabel dependen (Jumlah Sambungan Rumah). Pada keempat kuadran didapati bahwa Penyaluran DAK Fisik Air Minum berpengaruh positif secara signifikan terhadap jumlah output sambungan rumah. Sedangkan, untuk pengaruh variabel jumlah penduduk miskin terhadap Jumlah Sambungan Rumah hanya didapati positif pada kuadran 3 (salur rendah, jumlah penduduk miskin rendah) meskipun nilainya tidak signifikan. Hal tersebut mengartikan bahwa pemerintah pusat perlu berhati-hati untuk mengalokasikan DAK Fisik Air Minum pada daerah-daerah dengan jumlah penduduk miskin tinggi (kuadran 1 dan 2) karena daerah dengan jumlah penduduk miskin tinggi sangat dimungkinkan belum memiliki kapabilitas yang cukup baik dalam mengoptimalkan penggunaan anggaran, termasuk DAK Fisik Air Minum dan cenderung mengurangi capaian output sambungan rumah di daerah. Selain itu, pada hasil regresi di kuadran 4 terlihat bahwa selain didapati pengaruh negatif jumlah penduduk miskin terhadap sambungan rumah juga ditemui intercept/konstanta regresi negatif. Berdasarkan hal ini, perlu menjadi pertimbangan pemerintah pusat untuk tidak terlalu banyak mengalokasikan DAK Fisik Air Minum pada daerah dengan jumlah penduduk miskin rendah yang mengindikasikan bahwa kebutuhan layanan yang rendah di daerah.

Secara umum, hasil regresi menunjukkan bahwa alokasi DAK Fisik Air Minum terbukti efektif mendorong peningkatan jumlah sambungan rumah (SR), tetapi keberhasilannya tidak merata di seluruh daerah, terutama di wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi. Oleh karena itu, penting untuk tidak hanya mengalokasikan dana berdasarkan kebutuhan fisik, tetapi juga mempertimbangkan kapasitas pelaksanaan daerah. Integrasi antara alokasi berbasis kebutuhan dan efisiensi teknis pelaksanaan di daerah menjadi kunci dalam meningkatkan efektivitas DAK Fisik secara nasional.

d. Efisiensi Teknis Pelaksanaan di Daerah

Sebagai bagian dari evaluasi efisiensi pelaksanaan DAK Fisik Bidang Air Minum, dilakukan analisis efisiensi teknis menggunakan pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA). Metode DEA digunakan untuk mengukur efisiensi relatif masing-masing pemerintah daerah (Decision Making Units/DMU) dalam mengubah input menjadi output. Dalam analisis ini, variabel input yang digunakan adalah nilai penyaluran DAK Fisik Air Minum, sedangkan variabel output yang diamati adalah jumlah sambungan rumah (SR) yang dihasilkan dari pemanfaatan dana tersebut.

Dalam analisis DEA ini, pendekatan output-oriented digunakan untuk menilai sejauh mana masing-masing daerah mampu memaksimalkan output (SR) dari input yang tersedia. Sementara itu, model efisiensi yang digunakan adalah BCC (Variable Returns to Scale/VRS), yang mempertimbangkan kemungkinan skala efisiensi berbeda antar daerah. Analisis dilakukan terhadap 225 pemerintah daerah yang memperoleh alokasi DAK Fisik Air Minum Tahun 2023 dan 2024. Nilai penyaluran dan total sambungan rumah yang digunakan adalah nilai agregat per provinsi (rata-rata tahun 2023 dan 2024). Hasil dari DEA ini akan menjadi dasar untuk mengidentifikasi daerah yang telah efisien, serta daerah yang masih memiliki ruang perbaikan dalam pengelolaan DAK Fisik Air Minum.

Tabel 8
Hasil Analisis Efisiensi Teknis Daerah dalam Penyaluran DAK Fisik Air Minum
Agregat per Provinsi Tahun 2023–2024
(Metode DEA, Output-Oriented, VRS Model)"

Sumber: Kemenkeu (data diolah)

Hasil analisis pada Tabel 8 menunjukkan bahwa hanya terdapat beberapa daerah yang mencapai skor efisiensi teknis sebesar 1 (theta = 1), yang berarti daerah-daerah tersebut telah optimal dalam mengonversi dana menjadi output layanan. Hasil analisis menunjukan bahwa daerah-daerah yang efisien berada di Prov. Jawa Tengah, Prov. Jawa Timur dan Banten adalah yang paling efisien dengan nilai theta sebesar 1. Sementara itu, mayoritas daerah-daerah lainnya belum efisien dengan nilai theta < 1. Daerah-daerah yang dinyatakan efisien ini dapat dijadikan sebagai acuan (benchmark) bagi daerah lainnya dalam perbaikan efisiensi teknis. Selain itu, kolom rank pada output analisis ini juga mendefinisikan urutan daerah dari yang paling efisien (rank= 1) yaitu Prov. Jawa Tengah dan Prov. Jawa Timur ke daerah paling tidak efisien (rank= 13) yaitu Prov. Kepulauan Riau. Selanjutnya, dari urutan tersebut juga didapati bahwa daerah-daerah di Prov. Jawa barat (theta = 0,997) dan Provinsi Aceh (theta = 0,931) nyaris efisien, berada pada peringkat keempat dan kelima, begitu selanjutnya sampai peringkat paling tidak efisien berada pada daerah-daerah di Provinsi Kepulauan Riau (theta = 0.376), Prov. Kalimantan Selatan (theta = 0.565), dan NTT (theta = 0,667). Daerah-daerah tersebut mengindikasikan bahwa mereka belum sepenuhnya optimal dalam memanfaatkan alokasi dana yang tersedia untuk menghasilkan output maksimal.

Hasil analisis DEA juga mendapati bahwa sejumlah daerah (DMU) pada output analisis ini menunjukkan ketidakefisienan yang tercermin dalam bentuk input slack. Meskipun orientasi model diarahkan untuk memaksimalkan jumlah output (dalam hal ini jumlah sambungan rumah/SR), hasil evaluasi menunjukkan bahwa masih terdapat kelebihan input, yaitu nilai salur DAK Fisik Air Minum yang tidak sepenuhnya diperlukan untuk menghasilkan output yang telah dicapai. Kondisi ini tercermin dari nilai input slack yang positif pada beberapa DMU, yang menunjukkan bahwa bahkan setelah output ditingkatkan secara proporsional sesuai skor efisiensinya, masih terdapat sejumlah alokasi dana yang seharusnya dapat dihemat atau dialokasikan lebih efisien. Dengan kata lain, sejumlah daerah telah menerima dana lebih dari yang sebenarnya dibutuhkan untuk menghasilkan output SR dalam jumlah tertentu, mengindikasikan adanya peluang peningkatan efisiensi dalam perencanaan dan alokasi anggaran. Mengenai hal ini, pada output stata input slack ditemukan, bahkan pada daerah yang dinyatakan sudah efisien (theta = 1), di Provinsi Banten dan daerah yang belum efisien yaitu di Prov. Jawa Barat, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Sulawesi Barat, Prov. Sulawesi Utara, dan Prov. Sumatera Utara. Temuan ini penting bagi pembuat kebijakan, karena mengisyaratkan bahwa optimalisasi alokasi dana dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kapasitas aktual daerah dalam mengkonversi dana menjadi output fisik.

Berdasarkan temuan analisis efisiensi teknis melalui metode DEA ini dapat disimpulkan bahwa secara agregat per provinsi ditemukan sebagian besar daerah belum optimal dalam efisiensi penggunaan DAK Fisik Air Minum dalam pencapaian output sambungan rumah.

Kesimpulan

Dari analisis yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Alokasi DAK belum sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan daerah dan belum sepenuhnya tersinergi dengan pelayanan air minum di Daerah.
  2. Terdapat hubungan yang kuat antara besaran DAK Fisik Air Minum yang disalurkan dengan output fisik yang dihasilkan, dalam hal ini jumlah sambungan rumah (SR), tetapi masih ditemukan disparitas yang cukup tinggi antar daerah.
  3. Penyaluran DAK Fisik Air Minum berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap capaian output SR, tetapi pengaruhnya masih terbilang kecil jika dibandingkan dengan biaya rata-rata pemasangan sambungan baru. Namun, untuk variabel Jumlah Penduduk Miskin justru bernilai negatif, meskipun tidak signifikan secara statistik. Dapat diartikan bahwa setiap penambahan jumlah penduduk miskin cenderung menurunkan capaian output SR.
  4. Secara agregat per provinsi, sebagian besar daerah belum efisien dalam mengonversi input Penyaluran DAK Fisik Air Minum menjadi output Jumlah Sambungan Rumah. Hanya didapati 3 (tiga) wilayah yang sudah efisien yaitu Prov. Jawa Tengah, Prov. Jawa Timur, dan Provinsi Banten. Hal ini berarti bahwa sebagain besar wilayah belum optimal dalam menggunakan DAK Fisik Air Minum dalam penciptaan output jumlah sambungan rumah (SR).

Rekomendasi

Dari beberapa kesimpulan di atas, direkomendasikan kepada pemerintah pusat sebagai berikut:

  1. Alokasi DAK agar mempertimbangkan kebutuhan daerah, salah satunya dengan mempertimbangkan angka kemiskinan. Selain itu, pemerintah pusat perlu bersinergi dengan pelaksanaan pelayanan air minum di Daerah melalui BUMD Air Minum. Daerah dengan BUMD Air Minum kurang sehat/sakit, dengan kecenderungan cakupan layanan yang juga rendah, perlu menjadi perhatian.
  2. Pengalokasian yang lebih berkelanjutan dan adil antar daerah serta disesuaikan dengan target nasional agar dapat meminimalkan disparitas pengalokasian di daerah.
  3. Pemerintah perlu meningkatkan efektivitas pengalokasian DAK Fisik Air Minum dalam penciptaan output sambungan rumah, memberikan perhatian khusus kepada daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi dengan pertimbangan tingkat efisiensi teknis pengelolaanDAK Fisik Air minum di daerah.
  4. Mendorong pemanfaatan DAK Fisik Air Minum yang lebih tepat sasaran melalui strategi rencana aksi peningkatan efektivitas dan efisiensi Penyaluran DAK Fisik Air Minum, sebagaimana Tabel 9 di bawah, sebagai berikut:

  • Pengalokasian DAK Fisik Air Minum ke depan lebih diarahkan secara berbasis kinerja dan kapasitas teknis daerah dalam mengonversi dana menjadi output layanan.
  • Daerah dengan nilai salur DAKFisik Air Minum per penduduk miskin relatif tinggi tetapi skor efisiensi rendah seperti daerah-daerah di Prov. Aceh, Prov. NTT, dan Prov. Sulawesi tenggara perlu mendapatkan pendampingan.
  • Daerah-daerah dengan nilai salur DAK Fisik Air Minum per penduduk miskin yang sangat tinggi tetapi skor efisiensi rendah seperti Prov. Kalimantan Barat, Prov. Kalimantan Selatan, Prov. Kepulauan Riau, dan Prov. Kalimantan Barat harus diberikan peninjauan yang intensif.
  • Daerah-daerah yang terdapat input slack Prov. Banten, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sumatera Utara selain perlu mendapatkan pendampingan teknis dan peningkatan kapasitas perencanaan agar dapat mengoptimalkan penggunaan dana juga dapat dipertimbangkan untuk pengurangan alokasi
  • Daerah dengan skor efisiensi tinggi seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur dapat dijadikan model praktik baik (benchmarking) dalam pengelolaan dana DAK Fisik.


Lampiran :

Tabel 9
Matriks Perbandingan Efisiensi Teknis DAK Fisik Air Minum Per Wilayah dan
Rekomendasi Rencana Aksi Peningkatan Efisiensi dan Efektivitas
Penyaluran DAK Fisik Air Minum
Sumber: Kemenkeu (data diolah)

Posting Komentar