Trending

Waste-to-Energy dalam Strategi Pengelolaan Sampah Indonesia: Kajian Literatur PLTSa dan Teknologi Alternatif

Oleh: Bambang Imam Pramuji, Daniel Vincent

Pendahuluan

Sampah merupakan material padat hasil aktivitas manusia sehari-hari maupun proses alami yang telah kehilangan nilai guna bagi pemiliknya. Berdasarkan sifat kimianya, sampah umumnya dikategorikan menjadi dua jenis utama: organik dan anorganik (Nur Latifatul et al., 2018). Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) mencatat bahwa pada tahun 2022, Indonesia menghasilkan volume sampah tertinggi dalam kurun lima tahun terakhir, yaitu sebesar 37,6 juta ton. Proyeksi menunjukkan bahwa pada tahun 2025, jumlah ini bisa meningkat hingga mencapai 65,2 juta ton per tahun, terutama dari kawasan perkotaan.

Namun, peningkatan jumlah sampah tersebut belum diimbangi dengan sistem pengelolaan yang memadai. Di banyak wilayah, khususnya kota-kota besar, sistem yang masih dominan digunakan adalah model konvensional “kumpul-angkut-buang” atau pendekatan akhir pipa (end-of-pipe). Sebagian besar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) masih menerapkan metode open dumping, yang menimbulkan beragam persoalan lingkungan, seperti pencemaran air tanah, bau tidak sedap, dan sanitasi yang buruk. Selain itu, tumpukan sampah ini berkontribusi terhadap peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), terutama karbon dioksida (CO₂) dan metana (CH₄), yang memperburuk krisis iklim.

Laporan Inventarisasi GRK dan Monitoring Pelaporan Verifikasi (MPV) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2024 menunjukkan bahwa emisi GRK dari sektor persampahan terus meningkat signifikan. Pada tahun 2017, emisi dari sektor ini tercatat sebesar 120.191 ribu ton CO₂e dan naik menjadi 136.335 ribu ton CO₂e pada tahun 2023 (KLHK, 2024). Kenaikan ini menunjukkan bahwa penerapan sanitary landfill di TPA masih belum optimal dan belum menjadi praktik standar nasional.

Krisis pengelolaan sampah ini tidak hanya menimbulkan ancaman ekologis, tetapi juga tekanan sosial dan fiskal bagi pemerintah daerah. Biaya pengangkutan dan pengelolaan sampah yang terus meningkat, keterbatasan lahan untuk TPA baru, serta penolakan masyarakat terhadap lokasi PLTSa menjadi tantangan kompleks yang harus segera diatasi. Tanpa strategi pengelolaan yang inovatif dan berkelanjutan, masalah ini berpotensi meluas menjadi krisis lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Dalam konteks tersebut, teknologi Waste-to-Energy (WtE) menjadi salah satu pendekatan strategis yang kian relevan. WtE merujuk pada berbagai teknologi yang mengubah sampah menjadi energi, baik dalam bentuk listrik, panas, maupun bahan bakar. Di Indonesia, pendekatan ini mulai dikembangkan melalui teknologi seperti Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dan Refuse Derived Fuel (RDF). Pengembangan WtE juga sejalan dengan komitmen nasional dalam menurunkan emisi GRK dalam kerangka Nationally Determined Contribution (NDC) serta mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya tujuan 11 (kota berkelanjutan), 12 (konsumsi dan produksi berkelanjutan), dan 13 (aksi iklim).

Namun demikian, penerapan WtE di Indonesia masih menghadapi tantangan teknis, kebijakan, sosial, dan ekonomi. Pemahaman publik terhadap teknologi ini pun masih terbatas, sering kali hanya dikaitkan dengan PLTSa berbasis insinerasi. Oleh karena itu, kajian terhadap ragam teknologi WtE, manfaat dan risikonya, serta potensi implementasinya dalam konteks lokal menjadi sangat penting.

Artikel ini bertujuan untuk meninjau berbagai studi dan kebijakan terkait pengelolaan sampah berbasis Waste-to-Energy di Indonesia, dengan fokus pada teknologi PLTSa dan RDF. Melalui pendekatan literature review, artikel ini akan menguraikan potensi kontribusi WtE dalam menyelesaikan persoalan sampah, sekaligus mengidentifikasi tantangan dan peluang yang perlu diperhatikan untuk implementasi yang berkelanjutan dan adaptif terhadap konteks Indonesia. 


Kajian lengkap

Posting Komentar