Oleh : Wahyu Widjayanto dan Azis Rachman Hakim
PENDAHULUAN
Indonesia menempati peringkat 37 dari 180 negara paling rentan bencana (The World Risk Index 2019), karena Indonesia berada di area cincin api dan berdasarkan Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI 2022) maka hamper seluruh area di wilayah Indonesia beresiko tinggi dan sedang. Hampir seluruh wilayah di Indonesia terpapar risiko atas sepuluh bencana alam utama, yaitu gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, letusan gunung api, kebakaran, cuaca ekstrim, gelombang ekstrim, kekeringan dan likuifaksi. Secara rata-rata kerugian ekonomi langsung (diukur dari kerusakan bangunan dan non bangunan saja) pada periode 2000 hingga 2016 di kisaran Rp22,8 triliun rupiah. Estimasi tersebut sudah memperhitungkan kerugian akibat gempa dan tsunami Aceh sebesar Rp51,4 triliun dan gempa DIY/Jateng sebesar Rp26,1. Menurut World Bank, estimasi kerugian tersebut akurasinya hanya di kisaran 60% (Strategi PARB, Kemenkeu, 2018).
Kebutuhan pembiayaan untuk mengatasi kerugian ekonomi langsung tersebut di atas tentunya diperlukan sumber pembiayaan yang lebih besar lagi. PP No. 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana telah mengamanatkan APBN dan APBD diwajibkan untuk menyediakan dana pada setiap periode penanggulangan bencana yang meliputi: 1) periode tidak terjadi bencana (pembiayaan prabencana), 2) pembiayaan tanggap darurat ketika terjadi bencana, dan 3) pembiayaan rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan setelah selesainya masa tanggap darurat (pembiayaan pascabencana).
PERMASALAHAN
Pada tahun 2023 telah terjadi bencana alam sebanyak 4.940 kejadian. Kejadian bencana hidrometrologi terutama karhutla, banjir, cuaca ekstrim, tanah longsor, kekeringan, gelombang pasang abrasi sangat dominan. Sedangkan bencana gempa bumi hanya terjadi 31 kali serta erupsi gunung berapi hanya 4 kali. Kerusakan bangunan dan kerugian ekonomi langsung bencana alam tersebut belum bisa dipastikan besarannya namun dari sisi komitmen Pemda dalam menganggarkan dana penanggulangan bencana di APBD-nya relatif sangat rendah yaitu hanya di kisaran 1,84%. Pendanaan pada tahap tanggap darurat paling dominan, selanjut pendanaan untuk dukungan manajerial menduduki porsi anggaran terbesar kedua.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
A. Prioritas Penggunaan Belanja Daerah Non Hibah RR untuk Paska Bencana Belanja daerah non hibah RR pada paska bencana bisa dianggarkan untuk beberapa program/kegiatan yang terkait dengan
- Tata ruang yang lebih memperhitungkan risiko bencana di mana pendanaan pada paska bencana terkait dengan pembebasan lahan yang tidak masuk pada zona rawan bencana. Selain itu juga perlu dukungan pendanaan APBD pada tahap pra bencana terkait dengan pemetaan risiko bencana pada Rencana Tata Ruang dan Wilayah daerah dimaksud.
- Menganggarkan lebih banyak belanja infrastruktur untuk sarana dan prasarana dasar, perumahan dan permukiman dengan mengedepankan SNI tahan gempa pada bangunan-bangunan dimaksud. Selain untuk mengurangi risiko bencana selanjutnya juga untuk memenuhi mandatory spending minimal 40% sesuai amanat UU No. 1 Tahun 2022
- Penganggaran untuk kegiatan terkait mitigasi dan pengurangan risiko bencana terutama peningkatan ketangguhan masyarakat terhadap bencana, early warning systems dan lainnya pada dasarnya bisa setiap tahun dianggarkan pada tahap pra bencana juga.
- Mengalokasikan belanja yang lebih besar untuk pemulihan psiko-sosial dan ekonomi masyarakat dengan melaksanakan program yang terkait ketangguhan masyarakat dalam hadapi bencana.
B. Prioritas Peruntukan Hibah RR untuk pendanaan Paska Bencana
- Hibah RR yang perencanaannya di daerah sulit mengikuti siklus perencanaan penganggaran APBD maka sebaiknya mempunyai prioritas peruntukan yang ditetapkan pada dokumen Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi (R3) per kejadian bencana utamanya pada pembangunan infrastruktur untuk mengurangi risiko bencana.
- Dokumen R3 dimaksud sebaiknya dikonsultasikan ke stakeholder pusat dan daerah agar bisa dihasilkan rencana sumber pendanaan selain hibah RR dan APBD. R3 juga diselaraskan dengan dokumen Rencana Pembangunan Daerah.
- Penghitungan kerugian ekonomi paska bencana yang sangat akurat sangat sulit dicapai walaupun pada awalnya JituPasna (Pengkajian Kebutuhan Paska Bencana) sudah memadai namun R3 perlu diupdate agar kebutuhan RRnya semakin akurat.
- Periode waktu pelaksanaan R3 sebaiknya dibatasi 3 tahunSehingga kebutuhan akan sarpras dan infrastruktur layanan publik bisa disinkronkan dengan sumber pendanaan lainnya utamanya adalah DAK Fisik.
Berikut kajian lengkapnya: